Kamis, 24 November 2016


Berburu Hantu 

Di keheningan malam itu  seorang pemuda belasan tahun  bersama belasan anak-anak tanggung bergerombol di  pinggir lapangan bola. Lapangan bola peninggalan BPM perusahaan minyak Belanda, menjadi tempat berkumpulnya anak-anak kampung. Tidak ada lagi petugas keamanan  yang mengejar-ngejar sejak BPM dinasionalisasi.  Dan tidak terlihat lagi bule-bule yang bermain bola, tidak ada lagi pemandangan  noni dan sinyo yang bermain otopet di jalanan loji –loji komplek BPM di sekitar lapangan bola itu.  Bule-bule itu telah lama pulang ke negerinya nun jauh di sana di Eropa Barat.

Gerombolan anak-anak seperti itu dulu sering  mengganggu dan mengejar sinyo-sinyo Belanda maupun  londo ireng. Orang-orang kampung menyebut employee  atau pegawai BPM pribumi penghuni komplek itu  sebagai londo ireng (Belanda hitam).  Sentimen pada  Belanda dan para priyayi masih terus berlanjut pada anak-anak kampung di pinggiran komplek itu.  Mereka adalah anak-anak para pedagang kecil,  buruh,  pekerja serabutan  yang tak tentu pencahariannya.

“E kang  Benu, kita mau  kemana  ngumpul di sini?  Celetuk Waras salah satu anak tanggung pada pimpinan kelompok.
“Tunggu pak Dirjo nanti kita baru tahu.” Benu menjawab singkat.  Suasana kembali hening, anak-anak itu menduga-duga. Waras dan anak-anak itu berpikir tak mungkin malam itu mereka latihan bela diri. Pak Dirjo bukanlah pelatih silat mereka. Pak Joyorejo lah pelatih silat dan ketangkasan mereka. Pak Dirjo setahu mereka seorang guru  SMP di kota nya dan baru dua bulanan pindah di kampung pinggir komplek itu.

“Selamat malam anak-anak”  sapa seorang bapak yang tiba-tiba muncul di belakang mereka.  Anak-anak yang tertidur meringkuk kedinginan di sarungnya  geragapan  bangun. “Salamat malam pak” sahut Benu diikuti saur manuk anak-anak.  Pak Dirjo  yang perawakannya sedang, malam itu memakai baju hitam celana hitam. “Ayo kita berangkat.” Ajaknya tanpa menyebutkan tujuannya.
Pak Dirjo bersama Benu berjalan di depan, diikuti anak-anak yang  agak kebingungan. Mereka tak mau bertanya , selain belum akrab,  mereka sebenarnya sudah mengantuk. Anak-anak itu seolah-olah berjalan setengah sadar, hanya mengikuti pimpinannya.  Mereka memang bangga pada  kang Benu, yang menjadi idolanya.  Ya Benu lah yang dikenal sebagai anak pintar di kampungnya dan trampil mengolah kulit bundar.  Mereka adalah tim sepak bola anak-anak kampung di bawah asuhan Benu.
Mereka berjalan meninggalkan jalan komplek, mengikuti jalan setapak yang menuju ladang dan sawah. Beberapa rumah yang dilewati gelap, sunyi, penghuninya masih dipeluk mimpi. Penghuni kampung itu mungkin saja mimpi indah, sebagai pelipur  lara. Namun pasti mereka menyesal ketika bangun, karena masih berada di rumah gedeg yang telah lapuk di makan rayap dan waktu.

“Awas  hati-hati banyak telo (rekahan tanah)” pak Dirjo mengingatkan  ketika mereka telah sampai di persawahan jauh dari rumah penduduk.  Dengan tertatih-tatih  mereka melintasi pematang sawah .  Telapak kaki mereka sudah terbiasa menginjak kerikil, bebatuan dan  tajamnya tanah yang mengeras. Telapak kaki itu tidak pernah mengenal empuknya sol  sepatu atau sandal, mereka sudah terbiasa dlamak (telanjang kaki) sejak lahir.

Perjalanan mereka tidaklah lama. Setelah mendaki bukit kecil mereka sampai di pinggiran sebuah pemakaman umum.  Atas instruksi pak Dirjo mereka berhenti. “Ayo Benu bagi tugas pada anak buahmu’” pak Dirjo memberi perintah.
“Kawan-kawan, sekarang kita akan masuk ke pekuburan . Tapi nggak bersama-sama , kita berpencar . Kamu Waras bersama Samin ke pojok utara timur.  Giono sama Tarno ke  pojok utara barat.  Yang lainnya berdua-dua mencari tempat masing-masing yang agak berjauhan dan nanti kalau ada bunyi peluit ngumpul lagi di sini”  Gerombolan anak- anak itu terbagi dalam delapan kelompok dan segera berpencar mencari lokasi masing-masing.  Mereka  tak mendapat petunjuk apa pun,  bak kerbau dicocok hidung, mereka menurut. Kalau bukan karena kang Benu mungkin saja mereka protes atau lari pulang ke rumah masing-masing. Pak Dirjo dan Benu berada di sebuah cungkup  yang cukup  bagus.  Cungkup itu tampak baru di bangun oleh ahli warisnya, namun dari tulisan di kijing terbaca : Broto Widjojo wafat tahun 1950. Itu sudah belasan  tahun berlalu.

“Lho kita kok di pekuburan angker gini, ngapain.”  Samin mengadu pada Waras. “Kita nggak tahu, tapi apa kamu takut bocah angon.” Timpal Waras.
“Takut sih nggak, tetapi apa kang Waras nggak dengar  minggu lalu ada anak yang mati tenggelam di bengawan .”
“Ya aku lihat sendiri waktu orang-orang mengangkat mayatnya. Kata orang sudah dua hari mayat itu di cari, jadi sudah membusuk dan menggembung perutnya.”  Cerita Waras membuat hati Samin menjadi ciut.
“Lalu apa hubungannya mayat anak tenggelam itu dengan pemakaman ini.” Waras balik bertanya.
“Apa kang Waras nggak tahu, mayat anak itu kan di kubur di sini.”   Semilir angin malam membawa bau anyir, dari jenazah-jenazah yang baru dikuburkan.  Liang kubur di musim kemarau itu tidak tertutup rapat, karena bongkahan tanah yang kering tak dapat dipadatkan.  Kubur itu pun tidak disirami karena sulitnya mencari air.  Untuk masak dan mandi pun orang-orang harus mengantri di ledeng umum sumbangan perusahaan minyak.  Ledeng umum itu mengalir airnya hanya tiga empat jam sehari dan sering pula macet karena pompa di pabrik rusak.
“Kang, kata orang, pocong anak itu nggak diuculi (di lepas talinya).Jadi dia penasaran minta tolong untuk di lepas tali pocongnya.” Sayup-sayup terdengar suara burung  kuburan burung culik. “Coba dengar itu kang, ada suara congculi, congculi, pertanda pocongnya minta diuculi.”
“Ah masak iya. Itu kan suara burung kolik.” Waras tampak membesarkan hati.

“Aduh-aduh. Trembelane.” Sebuah teriakan bagian tengah kuburan.  Terlihat remang-remang Sunar dan  Mustofa mengibas-ngibaskan tangannya ke badannya.  Mereka berdua berlari ke pinggiran pekuburan ke tempat yang lapang.  “Sudah di sini saja, di sana banyak semut rangrang.” Ujar Sunar. “Gimana kalau pak Dirjo marah.” Timpal Mustofa. “Peduli amat”.

Kelompok   lain Jarot dan Wisno yang dikenal pemberani, berada di bawah pohon asem jawa yang sudah ratusan tahun umurnya. Lingkaran pohon itu cukup besar hampir tiga pelukan orang dewasa, menjulang tinggi dengan daunnya yang rimbun. Di bawah naungan pohon asem itulah terdapat makam keramat, mbah  Sosro yang konon orang pertama membangun kampung di sekitar makam itu.  Orang yang dikenal sakti dan bijaksana itu sewaktu hidupnya, kini makamnya menjadi tempat berziarah. Sering pula orang-orang yang bernadzar mengadakan syukuran di makam mbah Sosro, dengan bancakan, bahkan menggelar pertunjukan wayang kulit atau wayang menak (wayang golek  cerita sejarah Islam).

Belum genap sebulan lalu pakde  Kerto  tetangga Jarot juga bancakan di makam itu.  Pakde Kerto itu bernadzar kalau isterinya beranak dia akan sesajen di makam mbah Sosro. Maklumlah pakde Kerto lelaki paruh baya itu sudah berumah tangga puluhan tahun belum pula berputra. Itulah sebabnya pakde Kerto terpaksa nikah lagi sama yang lebih muda, dan ternyata setelah lima tahun hamillah istri mudanya itu. Tetapi tersiar pula kabar burung, bukan pak Kerto yang membuat isteri mudanya itu hamil.

Jarot dan Wisno  menghirup aroma kembang bunga telon (mawar, kenanga dan gading) yang ditaburkan di atas makam. Juga sisa-sisa bau bakaran kemenyan masih tajam, tetapi tak membuat bulu kuduk ke dua anak itu merinding. Anak anak kampung itu sudah biasa kluyuran malam, blusukan, kumpul-kumpul bermain perang-perangan, atau mencari buah-buah jatuh dimakan codot. Kenakalan anak-anak itu juga pernah menghabisi buah mangga pak  Jamal yang dikenal pelit.
Diantara bau kemenyan dan kembang telon, Jarot mengendus bau lain yang membuat perutnya kemerucuk.  “Sini sentermu Wis, ada rejeki kita malam  ini.”   Jarot menyorotkan senter ke pangkal pohon asam.  “Ayo itu ambil Wis, panggang ayam sesajian,  yah kita pesta besar,”
Jarot dan Wisno segera bersila di plesteran disisi makam mbah Sosro. “Mbah permisi ya kami ikut makan di sini.”   “Ee, bagaimana kawan kita yang lain.” Celetuk Wisno. “Nggak usah dipikirin, percuma dibagi banyakan, nggak jadi daging.” Jarot menjawab tegas.  Mereka berdua sangat menikmati ayam panggang sesajian mbah Sosro.  Sudah lama mereka tidak makan daging ayam atau telur.  Kalau lah mereka menemui menu makanan itu di rumahnya , sebutir telur dipotong jadi empat untuk berbagi dengan saudara-saudaranya. Menu rutin mereka ya sayur asem bayung (daun kacang panjang) , daun ketela, dengan lauk gereh (ikan asin paling jelek).  Mereka sudah tidak lagi makan nasi beras. Nasi jagung itu sudah untung, kalau tidak ya makan thiwul  dan bulgur.

Tahun enam puluhan itu tahun-tahun yang memprihatinkan. Kemiskinan dan kelaparan memang tidak mengemuka, dibalut semangat nasionalisme.  Anak-anak kampung itu tidak merasa susah, mereka tetap riang gembira sebagaimana umumnya anak-anak yang sedang tumbuh. Tak ada seorang pun yang membuat mereka iri. Mereka senasib  mengikuti  alur sejarah revolusi yang belum berakhir.
Seekor ayam panggang itu tandas dilahap Jarot dan Wisno sampai licin dari tulang-tulangnya.  Tulang rawan dan sumsum , dihisap habis-habisan.   Sebagai ganti air minum mereka mengulum buah asem yang banyak rontok di situ.  Mereka berdua sibuk menggosok-gosok tangan dan mulutnya dengan sinom  untuk menghapus aroma panggang ayam.

“Priiiiiit” suara peluit  Benu memecah keheningan malam. Kelompok anak-anak bergegas berkumpul kembali di pinggiran pekuburan di sisi barat. Tak banyak cerita, mereka segera kembali ke markas  di tribun kecil lapangan bola. Sesampainya di markas anak-anak  segera duduk  berhimpitan  menunggu penjelasan pak Dirjo.
“Nah anak-anak, kalian tentu  ingin tahu tujuan petualangan malam ini. “ pak Dirjo membuka pengarahan. “Apa kalian percaya hantu dan setan itu ada.”  Tanya pak Dirjo.  “Percaya”  suara anak-anak serempak.  “Apa kalian tadi ada yang melihat hantu.” Lanjut pak Dirjo.  “Tidaak.”
“Lho tidak lihat kok percaya.”
“Hantunya takut sama kita pak, itu sama Bendot.”  Mereka menyebut kawannya Bendot yang mukanya bopeng bekas cacar. “Ha-ha-ha. Anak-anak tertawa riang.
“ Baiklah, tapi kita ini percaya hantu , sundelbolong, atau wedhon, kan baru dari cerita dari mulut ke mulut.  Banyak yang belum pernah lihat sendiri, seperti kalian malam ini. Bapak sudah puluhan kali kluyuran dan blusukan di tempat angker, juga nggak pernah disatroni hantu.Kalau ketemu begal pernah.
“Begalnya dilawan pak.” Anak-anak nyeletuk.
“ Ya enggak, wong bapak nggak bawa uang, paling-paling begalnya minta rokok.”
“Di zaman maju ini kita nggak boleh percaya takhayul, nggak boleh percaya pada mitos sebelum dibuktikan kebenarannya.  Menurut bapak dan ilmu pengetahuan , hantu dan cerita takhayul itu khayalan dari kita sendiri.  Ketika kita dalam ketakutan, enerji kita kecil, maka banyak gas-gas di sekitar kita menyatu dan membentuk bayangan.  Karena ketakutan bayangan bayangan itu membentuk seperti yang sering kita dengar yang disebut bermacam-macam hantu.” Pak Dirjo menjelaskan panjang lebar.

Anak-anak yang sudah mengantuk itu, tak begitu jelas mendengar apa yang dikatakan pak Dirjo. Mereka juga tak tahu apa maksud pak Dirjo menjelaskan hantu-hantu itu.  Mereka memang percaya begitu saja apa yang pernah dikatakan kakek nenek mereka.  Mungkin hanya Benu lah yang sedikit dapat menangkap maksud pak Dirjo.  Maklumlah Ario Benowo nama lengkap Benu   sudah kelas dua Sekolah Guru Atas (SGA)  juga aktif di organisasi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI).
“Nanti dulu pak Dirjo, bagaimana tentang Tuhan atau Gusti Allah, apa perlu dibuktikan kebenarannya.” Tanya Benu dengan semangat.
“Ya disini kita perlu berhati-hati.Kita harus rasional dalam melihat Tuhan. Apakah selama ini Tuhan selalu membantu kita.  Kalaulah Tuhan kita anggap sebagai pencipta, tetapi setelah itu apakah  Tuhan peduli. Perlu pembuktian  kalau Tuhan itu ada. “

Benu tercenung, sebagian anak-anak sudah meringkuk tak tahan menahan kantuk.  Benu menatap langit, pikirannya menerawang  sampai lapis ke tujuh yang  dalam pewayangan  disanalah kahyangan tempat para dewa bersemayam.  Gusti  Allah tentu berbeda dengan dewa.  Dewa itu dekat dan memanusia, sedangkan Gusti Allah tak dapat dibayangkan.  Benu dan anak-anak itu berada di lingkungan yang jauh dari ajaran agama Islam.  Kisah, informasi tentang Gusti Allah sangatlah sedikit, sebatas menghapal rukun iman dan rukun Islam tanpa mengamalkannya.  Generasi kakek nenek mereka  masih penganut  anismisme, sementara ibu bapak mereka generasi peralihan yang tak sempat mencari Tuhan karena urusan  perut.

Peristiwa berburu hantu yang dilakukan kelompok anak-anak kampung itu tidak banyak menarik perhatian orang tua mereka. Tak ada yang kawatir kalau anak-anak itu digiring untuk tidak percaya pada hantu, setan dan yang serba ghaib.  Warga dari sebuah lorong di kampung itu mayoritas generasi kelahiran tahun 1920-1930 an, dan ada beberapa kakek dan nenek kelahiran akhir abad 19 dan awal abad 20.  Mereka generasi yang lahir dan dibesarkan dalam pergolakan besar dunia.  Secara tak langsung mereka kena imbas perang dunia pertama di Eropa, Krisis Ekonomi Dunia  (malaise) tahun 1930. Secara langsung mereka korban-korban perang dunia ke dua, mengalami kelaparan dan kerja paksa di zaman penjajahan Jepang.  Mereka baru pula terlepas dari perang kemerdekaan pada tahun limapuluhan.

 Sebagian besar mereka tidak mengenyam bangku sekolah, mereka buta huruf dan yang lebih parah lagi buta agama.  Batasan-batasan keimanan dan pemeliharaan dengan amal tidak pernah mereka dengar.  Mereka hanya percaya ada Yang Membuat Hidup, dan untuk urusan moral budi pekerti mengikuti naluri fitrah kemanusiaan.   Setidaknya mereka mengingat ajaran Mo Limo, yang tidak Maling (mencuri), Madon (berzina), Madat (narkotika), Main (berjudi), dan Minum (minum yang memabukkan).
Ritual keagamaan harian hampir tidak mereka kenal.  Masjid dan surau menjadi di luar jangkauan. Kalau bulan puasa tiba, hampir tidak ada yang berpuasa , tetapi pada hari likuran mereka menyempatkan  memasak besar untuk diantar ke tetangga.  Setiap keluarga mempunyai  pilihan waktu yang berbeda antara malam 21 sampai 29 pada angka-angka yang ganjil.  Malam likuran itulah malam yang menyenangkan bagi anak-anak, karena dapat menikmati makan enak,  ada daging,   ayam dan telur. Mereka terlihat sebagai pemeluk agama Islam, ketika ada yang meninggal dunia, karena harus dikafani, disalatkan dan dikuburkan.

Ritual animism penghormatan pada leluhur masih dilakukan di setiap malam Jumat, dengan membuat sesaji sederhana, bunga telon di jambangan kecil dan makanan kecil seadanya. Kata para mbah itu untuk menjamu para leluhur yang menjenguk anak cucunya. Tak ada mantra-mantra khusus pada ritual itu, mereka bebas berdoa dengan bahasa Jawa bahasa yang mereka kuasai.  Mereka berdoa minta rezeki  dan minta anak cucunya lebih pintar sekolahnya, agar terlepas dari kebodohan.  Dalam kebodohan  sebenarnya mereka menyimpan kearifan, karena mereka sadar akan kebodohan itu.  Mereka tidak mengenal  pa pincang atau bengkoknya huruf lam arab. Kearifan inilah yang membuat semangat menyekolahkan anak. Mereka selalu menyuruh anaknya  berangkat sekolah sepagi mungkin, walau hanya dengan cuci muka dan gosok gigi dengan arang.

Ulah anak-anak berburu hantu tak menjadi pikiran bagi mereka. Apalagi bersama Benu pemuda idola kampung dan pak Dirdjo pak guru yang sangat mereka hormati.  Anak-anak mereka sudah terbiasa tidak tidur di rumah, mereka biasa tidur berkelompok dan berpindah-pindah.  Itulah sosialisasi mereka  agar dapat mengenal lingkungannya.
Berbeda dengan yang lain orang tua Mustofa yang satu-satunya muslim taat di lorong itu merasa gusar mendengar cerita anaknya.  Disuatu sore seusai salat Maghrib berjamaah bersama anak dan isterinya, Abdullah bapak Mustofa membuka pembicaraan.
“Anak-anakku, kita bersyukur  menjadi orang yang mendapat hidayah untuk mengenal Islam.  Walau belum sempurna, setidaknya kita mengenal Rukun Iman yang enam.” Suasana hening, Mustakim dan Mustofa dua kakak beradik tafakur menanti  wejangan sang ayah. “Sesuatu yang ghaib seperti Allah, Malaikat, Syaithon , tentu sulit dibuktikan. Keyakinan adanya Allah ini harus kita semai di dalam hati, di pupuk dengan amal, baru akan datang ketenangan dan kedamaian. Kalau orang sejak awal tidak membuka hati, sudah tentu dia tidak akan menemukan Tuhannya. “  Pak Abdullah  menghela napas panjang, mengharap anaknya dapat menangkap nasihatnya.  Ada beban berat di hati pak Abdullah dalam menghadapi lingkungannya. Niatan dapat mengubah lingkungan tak juga terwujud, terkendala keterbatasan ilmu dan sarana.

“Engkau Mustakim dan Mustofa, bapak minta berhati-hati dalam bergaul.  Ikutilah permainan anak-anak yang wajar, tetapi jagalah keimanan.  Menjauhlah dari organisasi politik, seperti ajaran-ajaran pak Dirjo.”
“Insya Allah pak, kami dapat melaksanakan amanat bapak. “ Mustakim kakak Mustofa meyakinkan hati ayahnya.
Wajah pak Abdullah sedikit sumringah, bersyukur kepada Allah sejauh ini dapat melaksanakan ajaran Islam walau masih sedikit.  “Ayo pak ajak anak-anak makan .” suara  Halimah isteri pak Abdullah   mencairkan keheningan.  Di meja makan tersaji makanan yang halal, hasil dagang pak Abdullah dan jualan nasi pecal bu Halimah.

Senyatanya asal usul keluarga Mustofa itu dari desa lain, sebuah desa di pinggiran Bengawan.  Di sepanjang aliran Bengawan  kebanyakan penduduknya lebih mengenal Islam dibanding orang-orang yang jauh dari sungai.  Komunitas Islam lebih terlihat, yang ditandai banyaknya orang berkopiah dan berkerudung.   Bengawan itu menjadi  jalur  perjalanan yang penting sejak zaman prasejarah.   Sebelum tranportasi  mobil dan kereta, jalur sungai itu menjadi andalan para saudagar dan para ulama dalam berdakwah.  Untuk menyelamatkan akidah itulah Mustakim dan Mustofa tidak sekolah di Sekolah Umum, tetapi masuk Sekolah Muhammadiyah.  (***)

Cerpen di atas terinspirasi dari kisah nyata.  Guru Aljabar saya menyempatkan berceritera bahwa kepercayaan pada yang gaib itu takhayul. Hanya merupakan ilusi dan anggapan belaka. Dikatakan orang harus rasional, menggunakan akal dan percaya pada hal-hal yang nyata.  Waktu itu saya nggak begitu ngerti maksud pak guru. Baru ngerti setelah pak guru terlibat G30S/PKI.  



Rabu, 09 November 2016

Agama

Mekanisme Kerja Malaikat

Setiap orang, bahkan setiap makhluk yang bernyawa akan mengalami maut atau kematian. Itu sudah menjadi sunatullah, sebagaimana dituliskan dalam QS Ali’Imran : 185, yang artinya : “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati….” Dalam urusan nyawa ini Allah Swt menugaskan malaikat Izrail sebagai malaikat Maut, yang harus melaksanakannya setiap saat, karena miliaran bahkan triliunan makhluk bernyawa ada di alam semesta ini.  Manusia di bumi ini saja saat ini sudah mencapai sekitar 7 miliar, dan terjadi peperangan dan wabah penyakit di beberapa Negara.  Kita membayangkan Malaikat Izrail sangat sibuk, karena harus mengambil nyawa di berbagai lokasi di bumi.  Belum lagi kalau masih ada makhluk bernyawa di planet lain maka tidak dapat dibayangkan bagaimana sibuknya malaikat Maut ini.

Tentang tugas malaikat Maut ini pernah ditanyakan nabi Ibrahim a.s. : “Wahai Malaikat Maut, apa yang kamu lakukan bila satu nyawa di timur dan satu nyawa di barat? Apa yang kamu lakukan bila terjadi wabah penyakit di bumi dan dua pasukan besar saling bertemu?”  Izrail a.s. menjawab “Aku panggil semua ruh dengan izin Allah sehingga berada di kedua jariku ini,”  Riwayat lain menambahkan: “Bumi pun dibentangkan untuknya, hingga menjadi seperti baskom, sehingga dia bisa mengambil ruh-ruh itu sekehendaknya.”

Riwayat di atas menunjukkan bahwa ukuran dimensi Malaikat Izrail a.s. sangatlah besar dan mencakup seluruh bumi.  Dengan kata lain bumi itu di dalam kungkungannya sehingga dalam waktu yang bersamaan, Izrail a.s. dapat mencabut nyawa berapa pun jumlahnya.  Manusia pun jangan menyamakan pandangan Malaikat dengan pandangan manusia yang terbatas yang hanya menghadap ke satu arah dengan sudut pandang yang terbilang sempit.  Pandangan Izrail a.s. terhadap bumi dapat diproyeksikan menjadi bidang lengkung negative seperti baskom.

Dalam melaksanakan tugasnya Izrail a.s. juga tidak sendirian, tetapi memiliki pasukan bershaf-shaf. Sebagai malaikat primer setiap kali Izrail a.s. melintasi sungai di alam atas,  maka setiap tetes air yang dikibaskan dari sayapnya akan tercipta malaikat sekunder yang akan menjadi pasukannya. Ketika malaikat Maut ini turun ke alam bawah sudah tentu diikuti oleh pasukannya tersebut, dan mereka akan menyebar ke seluruh penjuru alam semesta yang dihuni oleh makhluk yang bernyawa, terutama di bumi kita ini. Setelah menunaikan tugasnya pembantu malaikat Maut yang bershaf-shaf itu kembali kepada Izrail a.s. untuk kemudian dibawa kembali ke alam atas.  Semua itu berlangsung dalam hitungan waktu yang super cepat, karena malaikat primer ini bergerak seketika. Mekanisme ini berlaku juga bagi malaikat primer lainnya seperti Jibril, Mika’il, dan yang lainnya.

Kini giliran malaikat pencatat amal, Raqib dan Atid, apa kerepotan ketika mencatat amal ratusan ribu orang yang  demo. Pertanyaan patut diajukan, pasangan malaikat pencatat amal setiap orang itu tetap atau berganti-ganti.  Mengacu pada  Al Qur’an  malaikat pencatat amal itu berganti ganti, bergiliran . Hal itu tersurat pada  QS Ar Rad: 11, yang artinya : “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah.”

Pada saat orang mulai niat berdemo untuk membela agama (Islam) mungkin dicatat oleh malaikat Raqib, dan beberapa saat malaikat yang mencatat niat baik itu sudah diganti malaikat Raqib yang lain. Jadi jumlah malaikat pencatat sejak berangkat demo sampai selesai, bisa jadi ribuan malaikat. Tindakan para pendemo yang membela agama itu tidak selamanya dicatat oleh malaikat Raqib, tetapi ada juga yang dicatat oleh malaikat Atid, ketika di perjalanan berbuat kerusuhan, mengganggu lalu lintas milsalnya.  Tentu saja yang mengumpat yang anarkis masuk catatan malaikat Atid.

Patut menjadi perhatian para peserta demo bahwa setiap demo belum pasti membuahkan hasil sesuai dengan kehendaknya. Walaupun niat demo itu baik, bahkan ada yang menganggap sebagai jihad, peserta demo harus tetap waspada dan mengendalikan diri.  Kecenderungan untuk melampiaskan kekecewaan dengan kekerasan biasanya tidak tepat sasaran.  Korban dari amuk massa kebanyakan pihak-pihak yang tak terkait dengan tema demo.  Seperti demo anti Amerika yang diserang gerai  yang namanya berbau Amerika, tetapi jelas nggak ada hubungannya dengan negara Amerika Serikat.

Cerita Pendek


Ini ceritera pengalaman pribadi dengan bumbu-bumbu  biar sedikit ramai.

Becik ketitik Ala ketara

Oleh Mudjiono

Baru saja  aku akan membelokkan sepeda ke halaman kantor, tiba-tiba  bi Mariyah tergopoh-gopoh menghampiri seraya setengah berteriak berkata “Nak Jono kantornya dibobol maling,!!!”  Terkesiap darahku naik ke ubun-ubun, dan segera menyandarkan sepeda ke tembok belakang kantor pos. Ku lihat dari kejauhan pintu kantor sudah terbuka, setelah kudekati gembok ganda sudah lepas dari daun pintu. Kunci utama tidak rusak, karena sudah seminggu ini tidak berfungsi dan belum diganti. Aku terduduk lunglai di teras kantor, tak tahu mau berbuat apa.  “Nak ini minum teh hangat dulu biar tenang,” bi Mariyah  pemilik kios kecil yang sudah lama mangkal di depan kantorku  menyodorkan segelas teh yang masih mengepul asapnya. Segera ku minum pelan-pelan, terasa manis namun tak mengurangi kalutnya pikiran dan gundahnya hati.
 
Aku paksakan diriku masuk ke dalam kantor, kulihat tidak ada sesuatu yang rusak.  Aku lihat jam dinding baru menunjukkan angka enam sepuluh menit. Masih ada waktu dua puluh menit lagi  untuk menghidupkan perangkat telegrap radio untuk memulai hubungan dengan kantor telegrap di Bandung. Walau  schedule belum dimulai  scalar di meja telegrap langsung aku on kan.  Radio penerima aku nyalakan dan langsung tuning frekuensi pemancar radio telegrap Bandung.  Call sign pemancar radio telegrap Pangkalpinang kantor tempat kerjaku segera mengudara melalui pesawat otomat yang mampu mengirim enampuluh kata per menit.

Aku segera mengambil kotak yang berisi uang penerimaan telegram sore kemarin.  Jantung berdegup,  pandangan kabur diselimuti kunang-kunang yang kesiangan.  Tanganku gemetar, mengambil amplop coklat kosong.  Tertinggal di dalamnya  lembar T10 daftar penerimaan telegram di loket kemarin, dan tembusan resi T7 bukti pembayaran telegram.  Sesuai  dengan jumlah  penerimaan telegram yang tertera di model T10, uang duapuluhdua ribu empatratus limapuluh rupiah  raib digondol maling.

Aku segera menghampiri telepon engkol local baterai, aku putar tiga kali untuk menghubungi  stasiun radio pemancar dan di sana pula tempat rumah dinas Kepala Kantor.
“Halo pak Jono, pemancar sudah on air”  suara Badrun di ujung sana.  Badrun itu petugas serbaguna, penjaga pemancar, sopir, juga tukang kebon, yang statusnya masih tenaga lepas harian.
“Oke baguslah, tetapi tolong panggilkan pak Bastian penting banget.”
Sesaat kemudian : “Ada apa Jon,” suara pak Bastian dengan nada kurang menyenangkan. “Pak kantor telegrap kecurian.”  “Gubraaaak” suara telepon dibanting. Telepon engkol warna hitam dari ebonite itu walau sudah tua tapi tetap tahan banting.

Sampai tahun 1977 Perumtel di Pangkalpinang ibukota kabupaten Bangka Belitung belum memiliki sentral telepon.   Semua infrastruktur dari listrik, telepon dan air dikelola PT Tambang Timah Bangka (TTB).  Bisa jadi TTB lebih banyak mengurus kepentingan social di banding bisnis timahnya. Sentral telepon Pangkalpinang sudah otomat, tetapi hanya terbatas untuk hubungan telepon di Bangka. Perumtel di Bangka hanya melayani jasa telegram ke seluruh kota di Indonesia  dan interlokal Single Side Band (SSB) hanya dengan Jakarta dan Palembang.  Perumtel hanya punya tiga lokasi kantor, kantor telegrap, stasiun radio penerima sekaligus Kamar Bicara Umum dan stasiun radio pemancar.  Hubungan antar kantor, satu kali putar untuk kantor telegrap, dua kali putar untuk stasiun radio dan tiga kali putar untuk stasiun pemancar.

Pukul enam tiga puluh, Suryadi  sang caraka pengantar telegram datang. “Yang hilang apa pak,”
“Uang telegram kemarin.”jawabku singkat. Tidak banyak tanya dia langsung menyapu, mengepel dan beres-beres dokumen kantor. Dia masih berstatus tenaga lepas harian, yang menggantikan ayahnya yang diberhentikan karena tersangkut Serikat Buruh  under bow PKI.  Tidak seberapa lama setelah datangnya caraka, suara mobil masuk di halaman kantor. Halaman kantor telegrap itu tampak sempit, setelah  Mobil dinas pickup  Chevrolet 1950 an  di parkir di situ.

 Pak Bastian Anwar Kepala Kantor Stasiun Radio Telegrap Pangkalpinang, turun dari mobil dinas. “Selamat pagi pak,”  Tanpa menjawab salamku, pria beruban yang sebentar lagi akan pensiun, langsung memeriksa pintu, lalu masuk melihat lemari tempat menyimpan model-model formulir administrasi telegrap dan disitu pula  ditaruh peti uang penerimaan telegram.
“Berapa uang yang hilang” tanya pak Bastian.
“Dua puluh dua ribu empat ratus lima puluh  rupiah pak.” Jawabku
“Benar kamu nggak ngambil uang itu?”
“Tidak pak” aku tertunduk malu, merasa kurang hati-hati.
“Siapa saja yang sudah datang?
“Baru caraka pak, yang lain biasanya jam tujuhan.” Aku menjelaskan.
“Gini dulu, kamu lanjutkan kerjaan, kasihan operator Bandung nunggu.”

Aku segera duduk di kursi operator yang berangka besi, berjok rotan.  Kukenakan headphone, kudengar irama morse, “yby 4 de pma 26, zhc, zhc, zro” berulang-ulang.  Kawan-kawan operator di Bandung menunggu konfirmasi  untuk segera mengirim telegram ke Pangkalpinang.  Maklumlah semua telegram tujuan Pangkalpinang dari seluruh Indonesia baik ari Ambon di timur maupun Bandaaceh di barat harus transit di Bandung. Itu sudah menjadi routenya tidak ada pilihan lain.
Segera aku mengetuk tuas pengirim kode morse bersandikan zok, zok, pse ga, yang artinya siap silahkan kirim telegram.  Aku sebagai operator telegrap morse terlamban  dibanding operator senior di Bandung yang sanggup menerima kode morse dengan kecepatan 50 sampai 60 kata per menit.

 “Bk, bk,” yang berarti break  sering kuketuk agar operator Bandung mengulangi pengiriman.  “Minggir, minggir, ganti pak Ramdhan’………”  Jawaban operator Bandung yang sengaja diputar di mesin pengirim otomatnya. Kata-kata sanjungan yang menyakitkan tak pantas diubah dalam ucap dan kata. Operator kantor telegrap Bandung tidak sabar mengirim telegram  zss alias send slowly, inginnya zsf send faster tanpa break.
Yah pak Ramdhan dan pak  Ahmad operator handal di Pangkalpinang yang baru seminggu ini berhenti. Mereka adalah korban G30S PKI, karena terdaftar sebagai anggota Serikat Buruh.  Keahliannya  tidak bisa dimanfaatkan karena adanya peraturan, lagi pula sudah disiapkan pengganti, walau baru bisa menerima tiga puluh kata per menit. Itulah dunia operator yang eksentrik, yang sepertinya ingin mendapat perhatian, ingin dilihat keahliannya yang sudah langka. Tetapi kenyataannya memang operator telegram itu terkungkung di ruang kerja, tidak diketahui pelanggan.  Petugas loket itu masih sempat bergurau dengan pengunjuk telegram, apalagi caraka banyak ditunggu juragan dari juragan daging sapi sampai tukang jamu keliling. Hati operator Bandung luluh juga, dan mengirim telegram dengan kecepatan duapuluhlima kata per menit.  Satu per satu telegram ku terima tanpa banyak break.

Sambil menerima telegram, aku masih sempat memperhatikan pak Bastian yang duduk di kursi Ketua Telegrap sambil memperhatikan model T10, penerimaan telegram yang ditutup kemarin sore.  Menjelang jam tujuh hampir bersamaan datang, pak Tanto Ketua Telegrap, Abdullah Umar teknisi telegrap, dan Syamsu Alam petugas loket pagi.
“Sini kumpul dulu, ada masalah yang harus diselesaikan.” Perintah pak Bastian.
Mereka menarik kursi dorong, duduk diam dihadapan pak Bastian. Tampak wajah-wajah yang takut disalahkan.  Dari bi Mariyah mereka pasti sudah tahu kantor ini dibobol maling semalam.
“Kalian sudah tahu kantor kita kemalingan.  Tidak ada barang berharga di sini. Pencuri tak akan mau menggotong radio penerima kuno peninggalan Belanda. Hanya uang telegram yang hilang.” Pak Bastian menghela napas panjang.
“Nasi sudah menjadi bubur, sekarang tindakan apa yang perlu dilakukan? Pak Bastian minta pendapat.
“Ini tanggungjawab saya pak; “ ujar pak Tanto Ketua Telegrap. Tetapi bagaimanapun juga Jono yang bertugas paling akhir kemarin sore harus ikut bertanggungjawab, mengganti uang yang hilang itu. Lanjut pak Tanto.
“Perkara ganti rugi itu nanti, yang penting kita perlu lapor ke polisi apa tidak.” Pak Bastian minta penegasan.
“Baiknya lapor pak, kan sudah banyak orang luar yang tahu, juga kawan-kawan di kantor Pos di sebelah juga tahu. Apalagi kantor Polsek hanya duaratusan meter dari sini”saran pak Umar.
“Baiklah, kalian bekerja seperti biasa, saya akan melapor untuk kepentingan dinas.”

Mendengar pembicaraan itu, hatiku semakin tersayat. Mengganti uang Rp.22.450,- yang tiga kali gaji pegawai golongan IC memang cukup berat. Sebagai anak rantau, aku harus bisa mengatur gaji bulanan yang kurang dari tujuh ribu rupiah. Namun yang terasa lebih mencekam dan memalukan harus berurusan dengan polisi, yang akan memakan waktu panjang. Kata nenekku sewaktu aku kecil jangan sampai berurusan dengan polisi.   Aku juga  ingat pak Ketua RT di kampung tempat ku sewa rumah, yang akhirnya kerepotan karena melaporkan perkelahian warganya ke polisi. Nasihat sesepuh di kampung agar menyelesaikan masalah secara kekeluargaan  tidak diperhatikan pak Ketua RT.

Menjelang jam sepuluh, dua orang penyidik polisi datang ke kantor. Mereka agak kecewa karena barang-barang bukti itu sudah tersentuh banyak orang.  Setelah mengambil sidik jari pegawai dan melakukan penyelidikan seperlunya mereka segera meninggalkan kantor, pergi bersama pak Tanto Ketua Telegrap.  Dalam percakapan mereka tersirat pencurian ini dilakukan orang dalam.
Siang itu, seperti biasanya setiap jam tigabelas operator shift pagi selesai jam kerjanya dan dilanjutkan operator shift sore sampai jam tujuhbelas atau jam lima sore. Ruslan yang orang Sunda sudah duduk di kursi operator menggantikan posisiku.   Operator shift sore ini akan  merangkap menjadi petugas loket, dan kadang harus menghidupkan genset kalau aliran listrik dari TTB terputus.  Sedangkan caraka lebih banyak keluar mengantar telegram ke seantero  kota Pangkalpinang.

 Operator shift sore inilah yang bertugas menutup pintu kantor, dan keesokan harinya bertugas membuka kantor, dan  siap on air pada jam enam tiga puluh pagi. Begitulah rutinitas yang sudah dianggap sebagai prosedur tetap dari tugas sang operator telegrap.
Kekhawatiranku menjadi kenyataan, karena siang itu selepas jam kerja aku harus menghadap Petugas Unit Reserse Kriminal (Reskrim) Polsek Pangkalpinang.  Hermanto nama penyidik polisi itu.
“Nggak usah takut, kamu hanya saya minta keterangan.” Pak Hermanto memecah kesunyian dan kekakuan. “
“Benar namamu Mudjiono,”
“Ya pak,” aku menggangguk sedikit lega. Mungkin bapak penyidik ini orang Jawa yang kasihan sama perantau muda Jawa, hingga interogasinya lemah lembut.
“Sudah berapa lama kerja di Pangkalpinang?
“Tiga tahun ,” jawabku singkat.
“Gajimu cukup tidak untuk hidup sebulan ? pertanyaan agak memancing.
“Yah dicukup-cukupkan pak,”
“Apa kamu butuh uang untuk keperluan mendadak! Tanya penyidik agak mendesak.
“Tidak pak, “
“ Baik sekarang begini saja, untuk keperluan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tolong tulis saja kronologis kejadian yang kamu alami, dari sore hari kemarin sampai pagi hari tadi. Tulis di atas kertas segel lalu di tandatangani. “
“Setelah itu bagaimana pak.” Aku minta penjelasan.
“Yah serahkan ke Kepala Kantor supaya dibawa ke sini bersama berkas lainnya.”
Hati sedikit lega, karena tidak ada interogasi seperti yang ada di cerita-cerita detektif.  Hari itupun laporan kronologis kejadian, aku tulis serinci-rincinya, dari masalah kunci, sampai hilangnya uang penerimaan telegram.  Tidak banyak orang yang terlibat di kantor ku, hanya Ketua Telegrap pak Tanto sebagai atasan dan pemegang kunci duplikat kantor.

Malam merayap sangat lamban.  Kantuk mataku tak kunjung tiba, teringat peristiwa yang telah berlalu, dan terbayang masa depan yang suram. Alangkah malang perjalanan hidupku, memulai karir bekerja yang tidak membanggakan. Aku ingat hari-hari penantian empat tahun silam, setelah menempuh tiga tahap test masuk Perumtel.  Surat berstempel logo Perumtel akhirnya datang, waktu itu dengan harap-harap cemas ku buka.  Aku tersingkir dari seleksi  masuk pendidikan pengatur muda teknik telekomunikasi  yang disingkat PMTNT.  Masih ada berita baiknya  ada secercah harapan, Perumtel  memberi kesempatan mengikuti job training (latihan kerja) sebagai juru operator telegrap radio yang diselenggarakan di Palembang.

“Ini kesempatan bagus untuk menjadi pegawai negeri yang jelas masa depannya.” Nasihat kakak iparku memberi semangat. “Perumtel kelihatannya bagus, kantornya ada di mana-mana” tambah kakakku. Bagiku kesempatan itu  adalah kesempatan untuk membebaskan beban kakakku yang selama ini telah menyekolahkan sampai SMA.  Aku ingat dengan bekal pas-pasan, aku tinggalkan Bandung menuju Palembang.

Aku berangkat bersama-sama tiga orang kawan yang senasib untuk mengadu untung di Palembang. Kami  naik kereta api ekonomi, Bandung ke Jakarta Kota, ganti kereta sampai Merak. Selama menunggu di stasiun kota yang terkenal dengan sebutan Beos aku sempat melihat anak-anak muda yang menyebar ke beberapa lokasi membawa papan dada dan pensil.  Mereka asyik menggambar sked perspektif stasiun kota dari berbagai sudut pandang. Aku kagum melihat arsitektur stasiun Beos  , dengan konstruksi pilar-pilar baja yang melengkung. Kata orang arsitekturnya  kombinasi art deco Belanda dan local, karena arsiteknya orang Belanda kelahiran Tulungagung.  Arsitek itulah yang sebenarnya menjadi idamanku. Tetapi untuk meraihnya memerlukan pengorbanan banyak orang. Ada batas-batas kemampuan, ada batas-batas keikhlasan yang perlu dipahami.

Menjelang waktu asar kereta jurusan Merak sudah siap di jalurnya, kami berempat segera naik untuk cepat-cepat berebut tempat duduk. Beruntung penumpang lagi sepi, hingga kami mendapatkan kursi di bagian tengah. Tidak ada yang menarik sepanjang perjalanan Jakarta Merak.  Sekitar jam tujuh malam kami sampai di pelabuhan Merak, banyak kapal dan perahu di dermaga, tetapi belum tahu kapal mana yang akan kami naiki. Kami berjalan mengikuti arus  beristirahat di peron stasiun.
Blast suara klakson kapal menggema, disusul  pemberitahuan agar penumpang jurusan Panjang Lampung segera naik ke kapal. Penumpang antri menaiki tangga mencari tempat duduk di anjungan, tapi lebih banyak yang lesehan di dek kapal.

 Kami berempat tak terduga mendapat penawaran dari awak kapal untuk menggunakan cabinnya dengan menambah ongkos ekstra.  Tawaran kami terima, dan nyamanlah  pengalaman pertama naik kapal menyeberang laut, tepatnya selat Sunda.  Sekitar jam sebelas malam kapal meninggalkan dermaga Merak, membelah laut dengan tenang.  Ombak sangat bersahabat sehingga kami sebagai pemula tak merasa pusing atau mual dan tertidur pulas. Entah berapa lama kapal berlayar, namun ketika kami terbangun sekitar jam tiga pagi, kapal terasa berhenti terapung-apung di tengah laut.  Baru jam lima pagi kapal mulai merapat di dermaga pelabuhan Panjang.

Perjalanan kereta berakhir di Kertapati sekitar pukul empat sore, dilanjutkan dengan oplet berhenti di terminal 16 ilir yang berada di bawah jembatan Ampera yang megah. Aku terheran-heran melihat sungai Musi yang sangat lebar, yang berlipat-lipat dibanding lebarnya sungai di Jawa.  Bengawan Solo yang melintas di kota kelahiranku Cepu  tidak ada apa-apanya, apalagi di musim kemarau airnya mengering.  Hari mulai senja mendekati waktu Magrib ketika becak yang kami tumpangi sampai di depan kantor telepon Palembang, jalan Kapten Rivai.

Bangunan kantor telepon dengan cat krem sudah tampak kusam. Tidak tampak kemegahan, hanya di halaman bagian kanan gedung tampak berdiri kokoh Menara Mikrowave satu-satunya tanda dimulainya modernisasi telekomunikasi.  Kantor sudah sepi, hanya petugas Satpam yang melayani. Hazeckil Hasugian anak Batak teman perjalanan  kami menjadi juru bicara, tentang maksud kedatangan kami berempat.  Tujuan utama  bertemu pejabat bagian Personalia Kantor Telepon Pelembang tidak mungkin terwujud, maka malam itu kami harus menginap. Uang yang tipis, dan tak tahu penginapan mana yang murah, maka kami sepakat menginap di beranda kantor telepon. Satpam pun membolehkan.

Malam itu selepas Isya, dewi fortuna benar-benar menghampiri kami yang duduk lesehan beralaskan koran bekas pemberian Satpam. Seorang bapak paruh baya melintas di beranda kantor, menghampiri kami, lalu bertanya;
“Adik-adik ini siapa dan ada kepentingan apa di sini?”
“Begini pak, kami berempat dari Bandung. Akan mengikuti job training operator radio morse di Palembang ini.” Zeck  panggilan akrab juru bicara kami mulai menjelaskan.
“Sesuai dengan surat panggilan dari Perumtel Pusat kami harus menghadap ke Personalia Kantor Telepon ini pak,” lanjut Zeck.
“Ya, ya,  paling besok pagi baru dapat menghadap. Malam ini sebaiknya  adik-adik nginap saja di mess di belakang kantor “ ujar Bapak itu.  Wajah kami langsung sumringah, mendengar tawaran yang tak pernah di sangka-sangka.
“Terimakasih pak, “ kami serempak menjawab tawaran itu.
“O, ya sampai lupa mengenalkan diri. Saya Hazeckiel Hasugian pak”  juru bicara kami mengenalkan diri sambil bersalaman.
Berturut-turut temanku Ruslan dan  Yaya Sunarya menyalami Bapak penolong itu. Saya memperkenalkan diri yang terakhir.
“ Yah, panggil saja saya pak Elias, pengurus rumah tangga kantor telepon ini.”
“Ayo bereskan barang-barang kalian, ikut bapak ke belakang.”

Tidak banyak barang yang kami bawa, Zeck membawa koper ecolac medium , Ruslan dan Sunarya  juga membawa koper besar, sementara aku hanya membawa tas rangsel terpal.  Kami segera mengikuti pak Elias menyusuri koridor yang membelah ruang-ruang kantor dan sentral telepon.  Di bagian belakang terdapat halaman parkir yang dimanfaatkan untuk lapangan badminton. Ruangan mess itu berada sisi kiri belakang gedung merupakan bangunan tambahan dari gedung induk. Di deretan itu juga terdapat gudang, dan kantin yang sudah tutup.

Ruang mess berisi empat tempat tidur nomor tiga, dengan sprei warna putih mangkak (kecoklat-coklatan), tapi di mata kami sudah cukup mewah.  Yang menyenangkan ada beberapa  kamar mandi dengan air yang berlimpah. Malam yang benar-benar nyaman setelah dua hari perjalanan yang melelahkan.

Hari-hari pelatihan operator radio morse, diawali dengan pengenalan kode morse, baik visual maupun suara.  Nada-nada pendek, tut satu hingga lima kali  harus benar-benar dihayati. Tampaknya remeh, tetapi membedakan ketukan tiga titik kode dari huruf “s” dan empat titik sebagai huruf “h” ternyata tidak gampang. Minggu-minggu pertama peserta masih banyak salah.  Sebagai operator telegraf dituntut memiliki ketrampilan mengetik buta sepuluh jari. Bagi kawan-kawan yang sudah terbiasa mengetik sebelas jari atau menggunakan dua telunjuk, mengalami kesulitan.  Aku beruntung, yang belum pernah menyentuh mesin ketik, malah lebih mudah beradabtasi dengan tomobol-tombol mesin ketik.

Selain ketrampilan kirim terima morse peserta harus menguasai administrasi telegrap, pengantar teknik telegrap, teknik radio, dan sedikit Bahasa Inggris. Untuk pengetahuan administrasi dan pengantar teknik telegrap dan radio tidak menjadi masalah. Tapi untuk skill mengirim dan menerima kode morse aku benar-benar payah. Ditambah lagi menjelang ujian terkena radang rongga telinga, semakin terupuruklah  nilai kirim terima telegrap radio morse.  Aku harus di her bersama empat teman lainnya, dan hasilnya tidak jauh beda . Untungnya tidak ada drop out , dan tetap diangkat jadi calon pegawai Perumtel yang bertugas sebagai operator telegrap radio morse.

Lulusan SMA Paspal diangkat menjadi pegawai berpangkat juru operasi alias golongan IC bukanlah sesuatu yang membanggakan. Terlebih lagi menyaksikan perilaku operator senior yang tampak depresi dan marah-marah yang dilampiaskan pada benda-benda di sekitarnya.  Adakalanya membanting pintu, dan di lain waktu menggebrak meja sambil membanting  headphone.   Dari tujuhbelas peserta pelatihan, hanya sembilan orang yang bertahan sebagai operator telegraf termasuk diriku.  Peserta kebanyakan pulang ke rumah masing-masing ada yang melanjutkan kuliah, atau mencari pekerjaan lain.

“Hei, jangan ngelamun terus, jangan mikir yang macam-macam.” Tiba-tiba Zeck kawan satu kontrakan  menegurku. Anak Batak ini setiap hari pergi menyambangi kawan-kawan nya sesama Batak. Beberapa kali aku diajaknya, namun aku tidak sabar dan sering jengkel, karena mereka asyik bicara Bahasa Batak, yang tidak satu kata pun aku mengerti kecuali horas.
“ Tenang Jon, kasus kita ini ringan,” Zeck menarik kursi kayu duduk di depanku.
“Ada saudaraku  orang hukum di sini, dia pasti bisa bantu,”  lanjut Zeck.  Ucapan itu sangat wajar, orang Batak banyak yang berprofesi di bidang hukum, entah di Kejaksaan, Kehakiman bahkan di kepolisian.
“Kita kawan-kawan senasib dari job training Palembang nggak tinggal diam,” ujar Zeck membesarkan hatiku.
“Terimakasih Zeck, “ jawabku singkat tak mampu mengurai kata.

Sejak pelatihan di Palembang Zeck dan aku bersama dua teman lain sama-sama satu kos-kosan. Dua teman ditempatkan di Lahat dan Jambi, aku dan Zeck ke Pangkalpinang. Sebelum kost, kami  berempat ditambah kawan baru dari pelatihan kabel telepon mencoba kontrak satu petak rumah. Kami anak muda yang belum berpengalaman, dari suku Jawa, Sunda, Batak dan Sumatera Selatan  tidak mampu mengendalikan emosi. Adu mulut bahkan menjurus ke perkelahian sering terjadi.  Rumah kontrakan untuk enam bulan kami tinggalkan, pindah kost di tempat lain.  Fragmen-fragmen ketegangan antara Zeck dan kawan baru ini sempat melibatkan polisi.

Di Pangkalpinang karena tidak mampu menerima radio morse, dia ditugaskan jadi operator  telepon interlokal.  Ternyata operator telepon interlokal itu nasibnya atau rejekinya jauh lebih baik dibanding operator telegraf. Yang datang di Kamar Bicara Umum itu biasanya bos-bos  yang memiliki hubungan bisnis dengan pengusaha Jakarta dan Palembang.  Bila percakapan dengan radio SSB itu berhasil bos-bos itu memberi tip kepada operator, atau tidak lagi meminta uang kembalian.  Sedangkan yang datang ke kantor telegraf para pesuruh dari Bank atau instansi-instansi dan warga masyarakat biasa. Mereka biasa membawa uang pas, dan kalau ada kembalian mereka tetap menunggu. Entah tipisnya iman atau fitrah manusiawi, dalam hati aku iri, dan merasa tidak adil.  Tapi untung Zeck orangnya terbuka, dan bisa mengerti, maka dia sering mentraktirku dan kawan-kawan operator lainnya. Zeck masuk ke kamarnya, aku pun segera menutup pintu dan segera ingin tidur untuk melupakan kegundahan.

Pagi itu aku tidak buru-buru berbenah diri, karena giliran kerja shift siang.  Zeck sudah berangkat giliran pagi. Biasanya sekitar jam delapan bi Minah pedagang sayur keliling datang ke rumah menawari sayur dan lauk pauk. Sebenarnya untuk orang bujangan lebih praktis  makan di warung, tidak usah masak dan cuci perabot.  Masalahnya di Pangkalpinang makanan matang harganya mahal tidak seperti di Jawa yang banyak pilihan.  Namun pagi itu tiba-tiba Suryadi caraka telegraf  datang.
“Ada apa Sur,” aku bertanya lebih dulu.
“Bapak harus ke kantor langsung ke ruang Kepala Kantor.”  Suryadi memberitahu.
“ Ya , terima kasih. Aku segera berangkat naik sepeda saja”
“Begitu saja pak, saya kembali ke kantor dulu.” Suryadi segera mengengkol motor Suzuki dinas Caraka dan segera menghilang di tikungan jalan.

Sesampainya di ruang Kepala Kantor di Stasiun Radio Penerima, di sana sudah hadir pak Marta Kasie Umum, ibu Syamsidar  bendahara, pak Tanto Ketua telegrap, Zeck  dan Atang juga operator interlokal. Aku duduk di kursi yang masih kosong.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh” pak Bastian memulai rapat.
“Pertama-tama, saya beritahu, kalau urusan pencurian di kantor telegraf ini sudah selesai. Artinya kita sudah mencabut perkara ini dari Kepolisian. Cuma untuk ganti rugi perlu kita pikirkan.  Coba siapa punya saran.”  Berbunga-bunga hatiku, terbebas dari kemelut ini.  Aku tetap diam tak layak memberi usulan karena sebagai tersangka.

Tiba-tiba kawanku Atang Suwarmat mengangkat tangannya : “Izinkan saya mengajukan usul pak.” Ujarnya.   “ Oh ya   teruskan,”  pak Bastian mempersilakan.  “Begini pak, kami kawan-kawan operator yang sama-sama satu pendidikan sepakat untuk menanggung kerugian ini,”  Aku terkesiap, kawan-kawan yang selama ini aku curigai, aku pendam rasa iri, ternyata memiliki kesetiakawanan yang tinggi.
“Wah, ini bagus. Coba ada yang lain lagi.” Pak Bastian tampak berbinar-binar.
Tiba-tiba suara lembut bu Syamsidar satu-satunya wanita di kantor Pangkalpinang mengumandang. “Pak menurut hemat saya, ganti rugi ini jangan hanya dibebankan kepada empat operator saja.  Biar lebih ringan kita tanggung bersama.”  Benar-benar solusi yang bijak, yang menggambarkan kekompakan pegawai.
“Oke usulan bu Syamsidar memang sangat tepat, karena kecurian ini akibat kelalaian kita bersama. Untuk urusan ini saya minta bu Syamsidar yang mengkoordinir.” Instruksi pak Bastian.

“Pak Bastian, saya punya usulan lain” pak Tanto angkat bicara
“Usulan apa, kalau penggantian ganti rugi ini sudah selesai.” Kata pak Bastian.
“Sekarang ini jumlah telegram yang dikirim dan diterima semakin banyak, sedangkan operator telegrap hanya dua.”
“Maksud pak Tanto apa petugas kantor telegraf kurang.” Tukas pak Bastian.
“Yah begitulah pak. Untuk itu saya usul agar saudara Zeck dan Atang bisa dikembalikan ke telegraf. Mereka memiliki basis pendidikan telegraf.” Usulan pak Tanto.
“Lalu yang jadi operator interlokal siapa?” tanya pak Bastian.
“Operator interlokal tidak sulit , karena tidak perlu pelatihan lama, saya kira bapak bisa minta tambahan pegawai ke Palembang.” Usualan pak Tanto tampak cerdas.
“Baiklah, kalau begitu, saya akan mengajukan usulan. Tapi sebelum pegawai baru datang, Zeck dan Atang tetap menjadi operator interlokal. Sekarang apa lagi yang perlu dibenahi? Mungkin pak Marta bisa kasih saran.”
“ Terimakasih pak. Berkaitan dengan pengamanan, kunci pintu kantor telegrap harus diganti dengan yang bagus dan kuat.   Dan itu pak , peti uang di loket sudah sangat tua, sudah berkarat, maklum peninggalan Belanda. Perlu beli brandkas kecil pak.”
“Ya, ya, untuk urusan perbaikan pintu, dan beli brandkas saya serahkan pak Marta. Saya kira kita telah tuntas menyelesaikan masalah.  Dan kau Jon harus lebih hati-hati, kerja yang rajin. Saya rasa sudah cukup dan Wassalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh. “ pak Bastian menutup rapat terbatas.
Aku langsung berdiri, menyalami pak Bastian dan berterimakasih. Akupun menyalami semua yang hadir dan memeluk Atang dan Zeck teman seangkatan. Airmata kebahagiaan menitik di sudut mataku.

Perkara itu sudah selesai, tetapi ada pertanyaan yang tersisa, kalau benar orang dalam siapa pelakunya. Semua baik-baik, tak  ada tanda-tanda bertipe jahat. Ada perasaan bersalah, karena rasa iri kepada teman, dan  karena  peristiwa ini, kawanku Zeck dan Atang yang selama ini berada di tempat basah, harus pindah ke telegraf yang dikenal gersang.  Perkara sudah tuntas, namun peringatan tertulis dari kepala kantor tetap kuterima.  Aku berserah diri kepada yang Maha Kuasa, dan teringat pepatah Jawa : “Becik Ketitik, Ala Ketara”.  Suatu kebaikan tanpa ucap akan tetap diingat, demikian juga setiap kejahatan walaupun ditutup-tutupi serapat mungkin akan terlihat tanda-tandanya. (***)








Minggu, 06 November 2016

Sains Religion

Kepribadian yang terbelah 

Oleh H Mudjiono

Split Personality atau kepribadian yang terbelah sadar atau tidak sadar telah melanda umat beragama di negara manapun termasuk Indonesia. Pendapat ini dikemukakan oleh filsuf, teolog Iran masa kini Seyyed Hossein Nasr, dalam bukunya Islam an the Plight of Modern Man, bahwa manusia modern cenderung mengalami split personality dan split integrity karena pengaruh modernisasi global, yang sudah menggeser peran agama menjadi persoalan pribadi dan akhirat tidak lagi memiliki hubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Permasalahan ini diakui Mulyadi Kertanegara dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  dalam bukunya Integrasi Sains dan Agama. Dikotomi sain dan agama menjadi problem dalam transformasi IAIN / STIAN menjadi Universitas Islam Nasional, karena  harus mengajarkan ilmu-ilmu umum yang mengikuti system barat.  Masalah ini sangat serius, karena dunia pendidikan Indonesia masih mengakui peran agama, dan masih diajarkan dari SD sampai SLA bahkan perguruan tinggi.

Selama ini anak-anak kita akan mengatakan asal-usul manusia  berasal dari Nabi Adam dan Hawa ketika belajar Agama, tetapi akan mengikuti teori Darwin dalam mata pelajaran biologi.  Agama mengajarkan Allah menciptakan alam semesta, tetapi di sisi sains alam semesta tercipta melalui hukum mekanika kuantum, gravitasi,  tanpa campur tangan Tuhan, seperti kata Stephen Hawking. Ilmuwan dan cendekiawan muslim sejauh ini masih menghadapi kesulitan dalam memasukkan peran Tuhan dalam sains. Seperti yang dikatakan Agus Purwanto fisikawan Indonesia dalam bukunya Ayat-Ayat Semesta kesulitan menemukan formula memasukkan peran Tuhan dalam teori Bigbang.

Secara tidak sadar masyarakat agamis sudah digiring menjadi masyarakat yang munafik, yang terombang-ambing antara agama dan sains. Bisa jadi ini mengakibatkan split integrity sehingga tidak memiliki keteguhan iman pada ajaran agama. Kepribadian yang mengambang tidak bisa lagi membedakan  mana yang haq dan mana yang batil, sehingga perilaku korupsi sulit diberantas.  Ditambah dengan gemerlapnya tipu daya iblis, maka masyarakat agamis didorong untuk mencintai dunia dan takut mati.

Sementara itu ulama-ulama yang berpegang pada  ayat-ayat suci dan hadits nabi, belum pula sepakat dalam  memposisikan Tuhan terhadap alam semesta ini. Sejauh ini pendekatan kepada Tuhan lebih banyak melalui hati, memperbanyak amalan-amalan tertentu,  dzikir dan wirid, dan berharap mendapat pencerahan. Pendekatan ini tidak salah, namun senyatanya hati manusia itu sebenarnya tidak stabil karena disana juga bersemayam nafsu.  Over confidence atas kebenaran apa yang dianut menjadi pemicu tindak kekerasan.  Walaupun Al Qur’an banyak memerintahkan agar manusia itu berfikir, menggunakan akal, namun anehnya akal ini sudah diklaim tidak mampu menjangkau keberadaan Allah.

Menyeimbangkan antara olah batin dan olah fikir menjadi tugas umat beragama, sehingga mampu mengintegrasikan sains dan agama, dan mengintegrasikan Sang Khalik dengan makhluk Nya. (***)

Kesehatan

Wabah Besar di Eropa

Adalah suatu kenyataan bahwa bangsa-bangsa  Eropa  sampai saat ini masih tergolong sebagai negara maju dan masih memimpin di bidang sains dan teknologi modern.  Indikasinya dapat dilihat dari tata kotanya yang teratur, tingkat kesehatan penduduknya yang tinggi, lingkungannya yang bersih  dan indicator ekonomi lainnya yang relative baik.  Namun kemajuan Eropa utamanya di bidang kesehatan tidak diperoleh secara instan, tetapi melalui traumatic peristiwa-peristiwa wabah yang mengerikan.

Keganasan pasukan berkuda bangsa Mongol pernah dirasakan bangsa-bangsa Eropa, baik secara langsung maupun tidak langsung.  Bangsa Rusia, Eropa Timur merasakan serangan dan gangguan  pasukan Mongol sejak tahun 1241 hingga akhir abad ke 14. Pada tahun 1343 terjadi peristiwa tragis di semenanjung Krim tepatnya di kota Caffa.  Para pedagang dari Genoa, Venesia  dan Eropa Barat lainnya terkurung di dalam tembok kota Caffa yang dikepung tentara Mongol atau Tartar.
Sampai tiga tahun pengepungan tentara Tartar tidak berhasil masuk kota, sampai pada suatu hari pasukan Tartar tidak lagi melempari batu namun melemparkan mayat-mayat mereka sendiri yang meninggal karena penyakit pes.  Pasukan Tartar itupun habis, namun mereka telah mencetuskan perang biologi dengan menyebarkan penyakit pes kepada seluruh penduduk kota Caffa, termasuk para pedagang Eropa Barat.

Orang-orang Genoa dan Venesia yang masih hidup segera berlayar meninggalkan kota Caffa dan banyak yang meninggal di kapal.  Sisa mereka sampai di Konstantinopel, Genoa dan Venesia, dan sudah tentu langsung menularkan penyakit pes kepada keluarga dan orang-orang dekatnya.  Dari pelabuhan-pelabuhan di Italia ini penyakit pes menyebar ke seluruh pelabuhan laut Tengah, hingga sampai ke Prancis, Spanyol dan Inggris.  Tidak ada satu desa pun yang tidak dilanda wabah pes, hingga menelan korban tidak kurang dari 25 juga orang selama delapan tahun.

Ada naskah mengharukan yang ditulis rahib Irlandia, bernama John Clyn yang menggambarkan kepedihan dan keputusasaan.  Dia menulis : “Penyakit pes itu, menghabiskan penghuni desa, kota besar, kota kecil, serta istana, sehingga hampir tak ada lagi  orang yang berdiam di sana.  Siapa pun yang menyentuh orang sakit atau orang mati segera ketularan penyakit dan meninggal.  Baik orang bertobat maupun Imam gereja yang mendengar pengakuannya diangkat bersama ke kuburan.  Banyak yang meninggal karena bisul dan luka, yang lain karena kesakitan hebat di kepala dan yang lain muntah darah. Saya, yang menantikan kedatangan maut, mencatat semua kejadian ini…………..” Sampai di sini rupanya penulis meninggal dunia.

Selama tigaratus tahun kemudian wabah pes tetap menghantui Eropa, dan terulang kembali pada 1665 yang melanda Inggis. Di London daftar kematian mingguan mencapai lebih dari 30.000 orang.  Diceriterakan dokter-dokter berhenti mengunjungi rumah penderita pes karena perasaan takut dan putus asa.  Anehnya musim gugur 1666 penyakit pes mulai menghilang dari London dan tahun 1720 penyakit pes dianggap lenyap dari Eropa Barat. Penyakit infeksi lainnya yang mengancam Eropa adalah kolera seperti yang terjadi pada tahun 1848 penyakit berasal dari India, menyebar ke Eropa dan benua Amerika yang dibawa para imigran. Selain pes dan kolera , penyakit cacar yang cukup banyak menelan korban.

Vaksinasi cacar yang diketemukan Edward Jenner pada tahun 1796 di Inggris, terinspirasi pencegahan cacar yang sudah dilakukan di Turki, yakni dengan meneteskan nanah cacar ke dalam luka sayatan kecil di tubuh manusia. Ketika itu pada tahun 1716, Lady Mary Montagu, istri Duta Besar Inggris di Turki mengirim surat kepada kawan-kawannya di Inggris tentang cara pencegahan cacar di Turki.  Sedikit berspekulasi Edward Jenner memindahkan cacar sapi dari luka di tangan gadis pemerah susu ke lengan anak lelaki dengan cara menggoreskan pada kulit. Terbukti dua bulan kemudian anak lelaki tersebut ternyata kebal cacar.  Sebutan vaksinasi ini diambil dari kata latin vacca yang berarti sapi, karena menggunakan virus-virus aktif dari cacar sapi yang dianggap lebih ringan dari cacar pada manusia. Penemuan vaksinasi cacar ini tidak serta merta digunakan secara massal, pasalnya para ilmuwan Inggis menyatakan metoda yang dilakukan Edward Jenner tidak memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yang sudah disepakati.

Imunisasi buatan dengan vaksinasi ini menjadi mendunia berkat percobaan Louis Pasteur dari Prancis, yang tak kenal lelah sehingga tahun 1885 menemukan vaksin Rabies.  Berbeda dengan Edward Jenner, Louis Pasteur mencoba dahulu vaksinnya kepada binatang berulang kali dan selalu berhasil.  Pada tahun itu pula seorang anak bernama Joseph Meister yang digigit anjing gila beberapa kali di bawa ke Louis Pasteur.  Dengan berat hati anak tersebut diberikan vaksin rabies, karena para dokter pada waktu itu masih belum yakin dan bahkan memvonis Meister akan meninggal satu bulan lagi.  Tetapi vonis itu salah dan Joseph Meister hidup sampai tahun 1940.
Dengan keberhasilan ini imunisasi buatan dengan vaksinasi dinyatakan legal, dan mendorong penemuan vaksin vaksin penyakit infeksi lainnya.  Sejak memasuki abad ke 20 wabah-wabah besar tidak ada lagi, hanya bersifat endemic.  Indonesia termasuk berhasil dalam program vaksinasi anak, sehingga angka kematian anak semakin menurun. Sayangnya baru-baru ini dinodai dengan adanya vaksin palsu.  Mudah-mudahan kasus ini cepat diatasi dan ke depan pengawasan lebih diperketat lagi.  (***)

Nasional

Seputar Hari Sumpah Pemuda

Konggres Pemuda ke II  26-28 Oktober 1928 itu benar-benar dirancang dan diselenggarakan oleh kaum muda. Soegondo Djojopoespito sebagai ketua konggres baru berusia 23 tahun, sekretaris yang dipercayakan kepada Muhammad Yamin lebih tua sedikit yakni 25 tahun.  Amir Syarifoedin Harahap sebagai bendahara mungkin yang termuda baru 21 tahun. Bung Karno yang berusia 27 tahun sudah termasuk tua dan sudah menjadi ketua Partai Nasional Indonesia, jadi tidak menjadi peserta Konggres Pemuda II.

Dalam rumusan Sumpah Pemuda yang menjadi masalah adalah soal Bahasa.  Kala itu yang dimaksud Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu Riau yang penuturnya hanya berjumlah ratusan ribu orang. Peserta konggres terutama orang-orang Jawa belum fasih atau belum bisa berbahasa Indonesia, sehingga Bahasa pengantarnya kebanyakan pakai Bahasa Belanda. Pengamat Belanda juga menilai Soegondo Djojopoespito tidak berwibawa dalam memimpin rapat karena tertatih-tatih dalam berbicara Bahasa Indonesia.

Rumusan Sumpah Pemuda  hasil konggres pada butir ke tiga tidak menyatakan berbahasa yang  satu, Bahasa Indonesia, tetapi menjunjung Bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.  Soal Bahasa ini, Mohammad Roem  yang juga peserta konggres pernah mengatakan kepada orang Belanda, kalau Bahasa Indonesa dapat menjadi Bahasa nasional dan Bahasa resmi, karena adanya pengorbanan orang Jawa.  Orang Belanda sendiri salah satunya Pastoor Van Lith berpendapat kalau Bahasa Jawa akan menjadi Bahasa nasional di kemudian hari, karena Bahasa Jawa tingkatnya tinggi dan sudah kaya kosa kata. Tapi Bung Karno pribadi  tidak setuju Bahasa Jawa menjadi Bahasa nasional, karena adanya tingkatan Bahasa, antara ngoko(bicara sesama tingkatannya), kromo/kromo inggil (Bahasa pembicaraan dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati).

Pejuang perintis kemerdekaan yang notabene lulusan pendidikan Belanda sudah menjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa akademik,  pergaulan dan Bahasa potilik.  Muhammad Roem dalam buku Bunga Rampai Sumpah terbitan Balai Pustaka tahun 1978 mengatakan masih bicara bahasa Belanda dengan istrinya dan anak-anaknya.  Berbahasa Jawa dengan ibu mertuanya yang wafat tahun 1976.
Berbeda dengan Muhammad Yamin yang memang sastrawan, orang Sumatera yang akrab dengan Bahasa Melayu, maka beliau yang paling lancar berbahasa Indonesia. Jadi tepatlah beliau menjadi perumus hasil Konggres Pemuda II, yang intinya menghasilkan Sumpah Pemuda:
Pertama  :   Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mengakoe bertoempah Darah yang satoe, Tanah Indonesia,
Kedoea    : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mengakoe berbangsa satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga       : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.

Kesehatan

Mengenal Tubuh Manusia

Oleh H Mudjiono

Manusia sebagai manusia yang memiliki kesadaran diri, makhluk yang menciptakan peradaban, namun tidaklah banyak yang mengenal tubuhnya sendiri. Mungkin hanya para dokter,biolog dan yang berprofesi di bidang medis saja yang mengenal seluk beluk fisik manusia. Sebagian orang baru memperhatikan  kondisi tubuhnya ketika dirasakan ada kelainan, atau mengalami rasa sakit. Dalam kondisi normal manusia cenderung abai diri, dan lebih sibuk mengejar keinginan atau kesenangan hidup, yang terkadang tidak dibutuhkan oleh tubuhnya sendiri.

Tubuh manusia sangat rumit dan kompleks yang terdiri dari system rangka, otot, syaraf, peredaran darah, pencernaan, dan system hormon. Sedangkan pusat kesadaran diri sangat misterius, antara di rongga dada atau di otak. Sementara dalam pandangan spiritual kesadaran diri cenderung berada di hati, kalbu yang berada di rongga dada, namun sains lebih focus pada otak.  Bagi yang biasa olah batin sepertinya semua krenteg (munculnya keinginan) memenuhi rongga dada, sedangkan otak hanya sebagai pelaksana, yang mencari solusi untuk mewujudkan krenteg.  Sebagai contoh orang beribadah salat, niat dibulatkan di hati dan dimantapkan dengan lisan, kemudian dilaksanakan dengan organ tubuh manusia berdasarkan ilmu yang sudah tersimpan di otak. Untuk hal-hal yang baru tentu saja otak harus berputar keras, bagaimana caranya untuk memenuhi keinginan hati.

Kalau ditinjau dari perilaku dan kemampuan gerak manusia , maka otak dan jaringan syaraf berperan sangat penting.  Kerusakan di otak yang mengakibatkan hilangnya sebagian memori tampak jelas dari perilaku manusia. Dia tidak tampil seperti biasanya, dan terkadang  tidak lagi mengenal jati dirinya. Sementara itu adanya kelainan organ-organ di rongga dada tidak mempengaruhi kepribadian seseorang. Kerusakan hanya mempengaruhi penampilan fisik, namun tidak sampai mengganggu kepribadian seseorang.  Bisa jadi pusat kesadaran diri ini bersembunyi di dalam otak, namun sinyal-sinyal nya seperti munculnya keinginan, perasaan senang dan benci serta emosi lainnya  dirasakan di dalam hati di rongga dada.

Memperhatikan pertumbuhan organ-organ tubuh manusia sejak dari janin boleh jadi masing-masing organ   merupakan individu yang berdiri sendiri.  Organ tubuh tangan dan kaki, sebagai individu yang  secara sukarela melayani pusat kesadaran diri yang disalurkan dari otak. Tidaklah mengherankan nanti di pengadilan akhirat tangan dan kaki ini akan bersaksi atas segala hal yang dilakukan selama di dunia.
 
Adapun organ vital seperti  jantung, paru-paru, ginjal, lever, dan system syaraf memiliki independensi dan tidak peduli pada pusat kesadaran diri. Organ-organ ini terus berdenyut, baik ketika yang empunya sedang bekerja atupun sedang tidur.  Ketika organ tersebut rusak, mereka berusaha memperbaiki diri sendiri, dan jika tidak berhasil barulah memberikan alarm, seperti adanya rasa sakit atau rasa yang aneh tidak seperti biasanya.

Untuk mewujudkan hidup sehat sudah seharusnya manusia memperhatikan kebutuhan organ tubuhnya, bukan memenuhi keinginan hati yang dipengaruhi nafsu. Untuk kerangka atau tulang-tulang dibutuhkan asupan makanan yang mengandung zat-zat tertentu dan dalam jumlah tertentu.  Pembentukan otot yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan bergerak memerlukan asupan protein dan lemak seperti daging, susu dan kacang-kacangan. Kesehatan jantung dan peredaran darah dipengaruhi factor makanan yang tidak mengandung  kolesterol jahat.  Ginjal dan lever juga perlu dijaga agar tidak bekerja terlalu berat dalam menyaring makanan yang mengandung zat-zat berbahaya.  Sistem pencernakan, system otak dan syaraf dan system pernapasan juga harus diperlihara sesuai  dengan ilmu yang dianjurkan oleh para dokter. Jika semua itu berjalan dengan baik, maka manusia tidak banyak ketergantungan pada obat-obatan.  Manusia tidak perlu banyak berobat, namun lebih banyak konsultasi, general check up sebagai langkah preventif. (***)