Memangkas mentalitas Korupsi
Oleh : H Mudjiono
Era reformasi selepas tumbangnya rezim Orde Baru., menjadi harapan rakyat Indonesia untuk
menapaki kehidupan yang lebih demokrasi, lebih bebas menyatakan pendapat dan
berekspresi. Keinginan sekelompok orang
untuk bebas berbicara itu memang menjadi kenyataan, seperti saat ini kita bebas
mengkritik pejabat, bahkan melecehkan presiden bisa dilakukan orang yang tidak
tahu persis duduk perkaranya. Kebebasan berbicara dan mengutarakan pendapat
yang diklaim sebagai hak asasi mendapat dukungan media pers, baik cetak mau pun
elektronik.
Keberhasilan berdemokrasi di Republik ini tidak serta merta
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Yang sudah menikmati hasil reformasi tentunya
elit-elit politik yang berhasil duduk di badan legisltafif, eksekutif dan
yudikatif yang seluruhnya mengatasnamakan kepentingan rakyat. Biaya demokratisasi ini sangatlah besar,
sehingga prioritas utama bukanlah untuk rakyat, namun lebih banyak untuk
membentuk badan-badan adhoc , seperti terbentuknya berbagai Komisi Pengawasan untuk
berbagai lembaga Negara. Ini menunjukkan sudah tidak ada lagi kepercayaan
kepada lembaga-lembaga Negara.
Masalah kronis korupsi yang semula dinisbatkan pada Orde
Baru, di era reformasi ternyata tidak juga berkurang. Korupsi masih saja muncul, dan meluas di
berbagai lembaga Negara dan swasta. Bisa jadi para mahasiswa yang menduduki
gedung MPR pada tahun 1998 yang
mengakibatkan lengsernya pak Harto, hari ini menyesal dan kecewa. Sebagian dari mereka tentunya sudah ada yang
menjadi pegawai negeri, pengusaha, kader partai, dan berbagai profesi
lain. Kini mereka berada dalam dunia
nyata, yakni berkeluarga dan harus menghidupi anak isteri. Pertanyaannya apakah mereka masih ingat pada
dunia ide sewaktu menjadi mahasiswa. Ingatkah mereka pada cita-cita memberantas
korupsi, dan mendukung demokrasi untuk
kesejahteraan rakyat.
Para koruptor sejak zaman dulu sampai sekarang adalah
orang-orang yang berpendidikan tinggi. Maklumlah yang berpendidikan rendah tak sempat menjadi pejabat atau public figure yang
memiliki kesempatan untuk korupsi.
Dengan kata lain para koruptor ini dulunya juga mahasiswa dan mungkin
pernah demo untuk memberantas korupsi.
Perubahan mentalitas dari anti korupsi menjadi pro korupsi ini patut
menjadi perhatian kita, utamanya para pendidik, psikolog, ulama
dan tokoh agama.
Melihat fenomena lingkaran setan korupsi, tampaknya
diperlukan pendidikan dan pengajaran sejak dini. Setiap orang tua, setiap
keluarga perlu mawas diri apakah sudah mengarahkan anak-anaknya untuk anti
korupsi. Bisa jadi orang tua sering
bicara bahwa hidup ini harus jujur, ingat pada Tuhan, namun ketika memasukkan
anaknya ke sekolah favorit, ternyata menyogok petugas supaya dapat diterima. Dewasa ini kita juga melihat anak-anak baru
gede sudah bersliweran mengendarai
sepeda motor. Orang tua mereka bangga anaknya sudah bisa disuruh kemana-mana
dengan naik motor, padahal belum cukup umur untuk memperoleh Surat Izin
Mengemudi (SIM)-C . Banyak penyimpangan yang dipertontonkan orang tua kepada
anaknya, dan itu membentuk mentalitas sang anak menjadi tidak peka terhadap
penyimpangan. Berbagai kesalahan yang sudah
dianggap biasa, menjadikan hati nurani menjadi tumpul, dan tidak malu melakukan
penyimpangan di kemudian hari.
Gaya hidup
Sebuah hadits yang menyatakan kelemahan umat manusia salah satunya adalah :
“Cinta Dunia dan takut mati”. Orang atau
masyarakat yang sudah sangat mencintai kehidupan dunia yang serba instan sudah
tentu sangat sulit diajak berjuang yang berisiko kematian. Orang-orang semacam ini akan lemah dalam membela kebenaran, agama
maupun Negara, karena takut kehilangan segala kenikmatan dunia.
Dunia adalah segala hal yang dekat, yang memang harus
dimiliki setiap orang dalam batas-batas tertentu. Batasan inilah yang sangat sulit ditentukan
dan sangat relative, karena sangat bergantung pada gaya hidup setiap orang atau
keluarga. Kebutuhan makan seseorang
untuk sekedar mempertahankan hidup agar mampu beribadah tidaklah banyak. Namun bagi seorang pengusaha atau pejabat
yang sering melakukan lobby bisnis, untuk sekali makan membutuhkan jutaan
rupiah.
Gaya hidup masyarakat modern, sudah tentu harus memberikan
pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Dengan pendidikan tinggi diharapkan anak-anaknya memperoleh kehidupan
yang lebih baik di kemudian hari. Cita-cita tersebut sangat mulia, namun ketika
gaya hidup tersebut tidak sesuai dengan kemampuan, maka orang tua tersebut
menempuh berbagai cara untuk mendapatkan biaya.
Korupsi menjadi cara mudah bagi orang tua tersebut demi masa depan anaknya.
Di zaman modern ini daya tarik kehidupan dunia sangatlah
dahsyat, oleh sebab itu setiap keluarga wajib menentukan standard
kebutuhan yang sesuai dengan
kemampuan. Biar pun pemerintah
mengembar-gemborkan pentingnya pendidikan tinggi, kalau tidak mampu cukuplah
mentargetkan anak-anak lulus SMU atau SMK, yang ada harapan mendapat subsidi
dari pemerintah. Dalam hal menentukan
gaya hidup, setiap keluarga memerlukan visi dan misi yang universal, yang dapat
dijangkau oleh setiap orang dan itu menjadi ranah agama.
Visi dari orang yang beragama adalah manusia yang bahagia di
dunia dan akhirat, yang dicapai melalui misi beriman dan beramal saleh. Untuk
bahagia di dunia dianjurkan hidup secukupnya, tidak berlebihan melalui usaha
sesuai dengan kemampuan. Kalaulah kita
mampu makan berlauk daging setiap hari, seyogianya cukupkanlah makan daging
seminggu sekali, sehingga memiliki kelebihan untuk ditabung dan
disedekahkan. Membangun rumah tinggal
juga jangan berlebihan, karena toh tidak selamanya ditempati. Kebutuhan sekunder , tertier sebaiknya
dikelola dengan baik, yang penting fungsi utama tercapai, dan tidak menimbulkan
rasa ria dan sombong.
Visi dan misi universal yang sederhana dan jauh dari hedonisme sebaiknya ditanamkan pada
setiap anak secara dini. Menjadi tugas para ahli pendidikan untuk menciptakan
metodelogi yang tepat, sehingga dapat menciptakan mental yang kuat, cinta
kebenaran dan anti kemungkaran. Mudah-mudahan
dengan cara ini kita dapat memangkas mentalitas korupsi yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar