Selasa, 12 November 2013

Renungan tahun baru Islam



Renungan tahun baru Islam,
Bangkit dalam keseimbangan
Oleh : H. Mudjiono

Tiga puluh lima tahun umat Islam telah mengarungi abad ke limabelas hijriah, yang pada awalnya digadang-gadang menjadi abad kebangkitan Islam. Hanya saja sejak awal umat Islam tidak memiliki kesepakatan, kebangkitan macam apa yang dikehendaki. Maklumlah  umat Islam sudah tumbuh beraneka ragam, akibat kulturisasi, pengaruh politik kekuasaan, dan terbagi-bagi dalam berbagai kelompok aliran yang masing-masing memiliki criteria  yang berbeda-beda. 

Bagi kelompok yang menginginkan berdirinya  kekhalifahan Islam jelas sampai saat ini belum berhasil.  Negara-negara di Timur Tengah dan Afrika yang dahulu menjadi komponen utama dari kehalifahan Islam Usmani tidak ada yang menyambut ide mengembalikan system khilafah.  Alih-alih  menerima ide tersebut, bahkan organisasi pencetus ide mengembalikan system khilafah Islam juga di larang.  Ide khilafah yang ditawarkan di Indonesia juga tidak popular, karena sejak awal bangsa Indonesia telah sepakat untuk mendirikan Negara berbasis kebangsaan.  Untuk mewujudkan Negara Islam Indonesia telah menelan korban yang cukup besar di awal kemerdekaan Indonesia.

Kalau kebangkitan Islam diukur dari  direbutnya kembali kendali sains dan teknologi, rasa-rasanya masih jauh panggang  dari api.  Sains dan teknologi saat ini jelas-jelas dikendalikan oleh Negara-negara Barat di bawah kepemimpinan Amerika Serikat, dan diikuti Jepang, China, Korea  dan India dari negeri-negeri Timur . Negara Islam dan negara berpenduduk mayoritas Islam saat ini menjadi konsumen dari produk-produk sains teknologi Barat, dan bahkan dalam kehidupan sehari-hari sudah banyak menyerap peradaban Barat.
Negara-negara Islam dan berpenduduk mayoritas Islam dewasa ini telah banyak dipengaruhi  konsep Barat dalam pengajaran sains, yang secara tegas memisahkan ilmu-ilmu umum dari ilmu-ilmu agama. Menurut peradaban Barat sains haruslah berbasis pada obyek-obyek yang bersifat empiris, yang dapat diverikasi, dibuktikan kebenarannya melalui pengamatan. Ilmu-ilmu agama yang banyak membicarakan hal-hal yang gaib, seperti Tuhan, malaikat dan sebagainya berdasarkan konsep Barat tidak masuk bahasan ilmiah, karena dianggap sebagai mitologi.  Ilmu-ilmu agama seperti itu tidak membahas tentang fakta, tetapi tentang makna yang sulit dibuktikan secara empiris.

Problema ini  sangat terasa ketika institusi pendidikan agama seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) diubah statusnya  menjadi Universitas yang harus mengajarkan ilmu-ilmu umum. Jelas Universitas Islam Negeri atau Universitas berbasis agama lainnya  tidak bisa menerapkan  sekularisme ilmu umum dari ilmu agama. Seperti yang dikeluhkan Dr. Mulyadhi Kartanegara dosen Program Pacasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pengajaran  di UIN membutuhkan panduan landasan yang dapat mengintegrasikan ilmu umum dengan ilmu agama.  

Dalam kehidupan praktis dan pragmatis sehari-hari ,sebenarnya umat Islam Indonesia ini bisa dikatakan beruntung, dapat melihat kemajuan Islam.  Secara kasat mata tigapuluh tahun silam kita masih jarang melihat orang berbusana muslim dan muslimat, tetapi saat ini  kita sudah biasa melihat ibu-ibu dan remaja putri berjilbab.  Tidak hanya ketika berada di Masjid, tetapi sudah dikenakan di mana saja, karena sebuah kesadaran kewajiban untuk menutupi aurat.  Kemajuan untuk menuju kebangkitan itu semakin nyata, karena anak-anak zaman sekarang ini menjadi lebih mudah belajar membaca Al Qur’an, karena  semakin banyak metoda yang diciptakan. Literatur bacaan dalam bentuk cetakan dan media digital juga semakin melimpah yang memungkinkan generasi muda Islam menjadi lebih berkualitas dari pendahulunya.  Jadi sudah sepatutnya di tahun baru 1435 H ini umat Islam Indonesia bersyukur, akan karunia Allah hidup dalam lingkungan yang relative aman dibandingkan dengan Negara-negara Islam lainnya yang ditandai dengan reformasi berdarah, perang saudara, perang  antar mazhab.

Memaknai Kebangkitan

Memasuki tahun baru 1435 H ini, umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia perlu merenung sejenak, agar dapat menangkap makna kebangkitan Islam yang sebenarnya.  Kebangkitan yang diukur secara meterialistis bukanlah menjadi tujuan utama dari agama Islam, karena senyatanya ajaran Islam lebih menekankan meraih kebahagiaan akhirat dengan  mengambil kehidupan dunia secukupnya.  Memaknai kebangikitan Islam perlulah memperhatikan masalah pokok tentang Sekularisme,   Islam menjadi rahmat seluruh alam semesta, Islam menciptakan keseimbangan dalam kehidupan.

Sekularisme dalam pengertian paham yang menyingkirkan nilai-nilai Ilahi (agama wahyu) dalam persoalan dunia, Negara dan masyarakat, secara historis lahir sebagai reaksi terhadap hegemoni agama Kristen Eropa pada abad pertengahan.  Waktu itu gereja memiliki wewenang yang besar dalam pemerintahan, kehidupan sipil, dan penelitian ilmiah.  Gereja melalui lembaga inkuisisi berkuasa penuh mengadili semua pihak yang melanggar atau yang bertentangan dengan kitab suci.  Diawali dengan paham Heliosentris  yang dicetuskan Kopernikus pada tahun 1643 M, dimulailah pertikaian antara ilmu pengetahuan hasil dari akal budi melawan ajaran Kristen.  Paham heliosentris yang menyatakan bahwa matahari sebagai pusat tata surya bertentangan dengan teks kitab suci yang menyatakan bumi sebagai pusat tata surya, bahkan pusat alam semesta.

Dengan lahirnya banyak ilmuwan yang dilengkapi dengan hasil pengamatan empiris, akhirnya ajaran agama Kristen semakin diragukan kebenarannya. Celakanya sebagian ilmuwan dan masyarakat menyingkirkan peran agama termasuk keberadaan Tuhan dalam mengatur kehidupan di dunia. Agama hanya hidup dalam kehidupan individu, tidak lagi masuk dalam ranah public. Akal budi manusia dipandang lebih utama untuk menyelesaikan urusan dunia.
Paham sekularisme ini juga berkembang  pada Negara-negara Islam dan berpenduduk mayoritas Islam. Korban pertama adalah Turki, setelah bubarnya kekhalifahan Turki Usmani, segera berdiri Negara Turki Modern yang Sekular, dengan maksud untuk mencapai kemajuan setara dengan Negara-negara Barat. Namun sampai saat ini pun Turki Modern belum mencapai kemajuan seperti apa yang diharapkan.  Untuk kasus Indonesia yang sejak proklamasi  berdiri sebagai Negara Nasionalisme berdasarkan Pancasila,  tentulah tidak tepat disebut sebagai Negara secular.  Pemerintah masih mengatur kehidupan umat beragama, dengan adanya Kementerian Agama.  Negara Indonesia adalah Negara kesepakatan dari semua komponen bangsa yang beragam yang ber Bhineka Tunggal Ika.

Kembali pada bahasan kebangkitan Islam, sangatlah bijak kita membersihkan niat, merevitalisasi tindakan, agar tidak salah arah.  Kebangkitan yang diawali dengan nafsu untuk menjatuhkan hegemoni peradaban barat dan memberantas ideology yang tak Islami bukanlah niat yang lurus. Niat yang disulut api kemarahan itu dengan mudah  ditunggangi setan, sehingga bukanlah kebangkitan yang diraih, namun justru kerpurukan.  Niat yang lurus tentunya mengacu pada pada niat Allah dalam menciptakan Adam, yang ingin menjadikannya sebagai khalifah di bumi.  Sebagai khalifah tidak harus membentuk Negara, tetapi utamanya menyebarluaskan ajaran tauhid dan memakmurkan bumi.  Kekhawatiran malaikat bahwa manusia itu suka menumpahkan darah haruslah mendapat perhatian umat Islam.

Sebenarnya sebagian umat Islam secara tidak sadar mengikuti paham secular tentang keberadaan Tuhan. Bukanlah banyak orang yang mengatakan Tuhan bukanlah materi, dan tidak dapat terjangkau akal, dan untuk memahami haruslah dengan hati.  Bukanlah Allah telah menyatakan sebagai yang dzahir dan batin, oleh sebab itu Allah dapat dimengerti melalui akal  dan dapat dirasakan dalam hati.  Hati tempat bersemayamnya iman merupakan wilayah yang rawan, oleh sebab itu Rasul pun mengingatkan kondisi iman itu sering berubah-ubah. Pasalnya di dalam dada tidak ada perangkat untuk menilai obyektivitas, sehingga dapat membuat dua kutub pernyataan ekstrim, senang dan tidak senang, hitam atau putih,  Otak sebagai perangkat akal, yang dapat memberikan analisis, memberikan pertimbangan, dan menyimpan informasi.  Untuk itu dalam rangka mengembalikan semangat kebangkitan Islam, umat Islam utamanya para intelektualnya segera merevitalisasi tentang eksistensi Allah.

Kita sering tersesat, karena selama ini tidak mempunyai peta untuk menelusuri keberadaan Allah. Kita terlanjur mensakralkan Allah suatu dzat yang keberadaanNya tidak boleh dibahas. Akibatnya  umat Islam ketika berhadapan dengan ilmuwan hanya bisa ngotot bahwa Allah itu ada, karena sangat jelasnya tidak perlu penjelasan. Ketika berpanjang-panjang  ulama menjelaskan ayat-ayat penciptaan, ilmuwan yang mendengar hanya menjawab itu sebagai mitos dan Stephen Hawking  fisikawan hanya menjawab alam semesta itu berswa mandiri berdasarkan  set hukum yang berlaku.

Islam sebagai rahmat seluruh alam semesta, diisyaratkan dalam Qur’an Surat Al Anbiyaa’ (21) ayat 107, yang artinya “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”  Agar dapat menjadi rahmat bagi semesta alam, umat Islam wajib meneladani utusan Allah, Rasulullah Muhammad Saw.  Mustahil kita umat Islam dapat mencontoh Rasul secara paripurna, tetapi wajib berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan.  Seluruh amalan Rasulullah adalah amalan unggulan , yang menjadi kebanggaan Allah, sementara kita umatnya  setidaknya berusaha membangun amalan unggulan dan mempertahankan dengan istiqomah sampai akhir hayat. 

Bagi hartawan, kiranya tidak sulit untuk menjadikan zakat, sedekah  sebagai amalan unggulan, sementara yang berilmu dan tidak kaya sangatlah tepat mengimplementasinya ilmunya untuk mengelola zakat dan sedekah agar benar-benar menciptakan kesejahteraan umat.  Bagi orang-orang miskin memiliki peluang yang besar puasa dan sabar.  Tetapi orang-orang yang berprofesi  militer dan menegakkan ketertiban, seperti bapak tentara dan polisi janganlah menjadikan puasa sebagai ibadah unggulan.  Rasulullah suatu ketika, bertanya kepada sahabatnya, ketika melihat Salman al Farisi terlihat kurus kehilangan kegagahannya. Dari jawaban sahabat, Rasul segera mengetahui kalau Salman al Farisi sering melaksanakan ibadah puasa sunnah. Kemudian Rasul pun mengingatkan Salman al Farisi untuk tidak berlebihan dalam berpuasa, bahkan dianjurkan untuk mengembalikan keperkasaan fisiknya, karena umat Islam saat itu sangat membutuhkan orang-orang yang gagah yang disegani orang-orang kafir Qurays.

Umat Islam harus pula menjadikan dirinya bermanfaat bagi lingkungannya, bukan ditakuti tetangganya. Agar menjadi orang yang bermanfaat, senyatanya harus memiliki banyak kelebihan .  Kelebihan ilmu dan ketrampilan akan menjadi modal untuk berbagi, sebelum dapat berbagi harta.
Al Qur’an ternyata cukup banyak berceritera tentang keseimbangan, yang juga disebut sebagai berpasang-pasangan.  Turunnya ajaran Islam utamanya untuk menciptakan keseimbangan antara agama Tauhid dengan agama polyteisme.  Menjelang turunnya agama Islam, di sekitar Jazirah Arab  telah berkembang agama Kristen, Majusi dan Yahudi.  Kerajaan yang dominan adalah Romawi dan Persia. Di wilayah timur   di wilayah India dan Cina berkembang agama Hindu, Budha dengan cirri-ciri local masing-masing.
Puncak kegoncangan bumi, karena ketidakseimbangan ini diinformasikan dalam QS Maryam : 90-91 : “Hampir-hampir langit pecah karena itu, dan bumi terbelah, dan gunung hancur lebur. Karena mereka menuduh Al – Rahman mempunyai anak.”  Untuk segera memulihkan keseimbangan langit dan bumi itu diturunkanlah ajaran Islam melalui Nabi Muhammad Saw. Dalam waktu relative singkat, Islam menyebar ke barat di ujung Afrika, ke timur hingga India yang kemudian menyusul wilayah Nusantara.

Fenomena awal penyebaran Islam ke barat dan ke timur mengikuti garis lintang bumi sangatlah menarik jika ditinjau dari asas keseimbangan rotasi bumi. Untuk mengembalikan keseimbangan bumi, umat manusia melalui umat Islam haruslah banyak-banyak menyebut  kalimat Allah, tahlil, tahmid dan takbir.  Kalimat Allah ini  akan berlangsung secara berkesinambungan jika Islam tersebar dari barat sampai ke timur, dari Marakesh hingga Merauke, mengikuti peredaran matahari, yang akan menentukan waktu-waktu salat.  Kalau Islam berkembang ke arah utara selatan , dalam rentang garis lintang bumi yang sempit, tentunya Adzan tidak berkumandang  bersahut-sahutan karena berlangsung pada waktu bersamaan.
Kebangkitan Islam haruslah memperhatikan keberadaan Islam di sabuk katuliswa dan garis  lintang yang melintasi wilayah yang padat penduduknya.  Dewasa ini keseimbangan bumi terasa terganggu, karena umat Islam di sepanjang ujung Afrika hingga Indonesia terganggu kekhusyuannya dalam menyebut asma Allah.  Ada gangguan perang saudara, usaha deislamisasi  seperti di Sudan, Ethiopia, Somalia dan mungkin juga Indonesia.  Gempa besar Aceh yang kemudian disusul gempa besar lainnya di seluruh kawasan bumi, menunjukkan bumi sedang kehilangan titik keseimbangan.  Gempa dan bencana alam ikutan lainnya adalah upaya alam untuk menjaga keseimbangan.  Manusia di bumi harus mengetahui fenomena ini, sehingga orang-orang barat dan non muslim mau mengerti  bahwa peran Islam adalah menjaga keseimbangan dan menjadi rahmat bagi alam semesta.   Saling pengertian peradaban besar dunia, Islam, Barat, Kristen, Hindu, Budha sangat diperlukan untuk menjaga keberadaan bumi dan penting untuk memperlambat datangnya kiamat. Wallahu alam bishawab.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar