Renungan tahun baru Islam,
Bangkit dalam keseimbangan
Oleh : H. Mudjiono
Tiga puluh lima tahun umat Islam telah mengarungi abad ke
limabelas hijriah, yang pada awalnya digadang-gadang menjadi abad kebangkitan
Islam. Hanya saja sejak awal umat Islam tidak memiliki kesepakatan, kebangkitan
macam apa yang dikehendaki. Maklumlah
umat Islam sudah tumbuh beraneka ragam, akibat kulturisasi, pengaruh
politik kekuasaan, dan terbagi-bagi dalam berbagai kelompok aliran yang
masing-masing memiliki criteria yang
berbeda-beda.
Bagi kelompok yang menginginkan berdirinya kekhalifahan Islam jelas sampai saat ini
belum berhasil. Negara-negara di Timur
Tengah dan Afrika yang dahulu menjadi komponen utama dari kehalifahan Islam Usmani
tidak ada yang menyambut ide mengembalikan system khilafah. Alih-alih
menerima ide tersebut, bahkan organisasi pencetus ide mengembalikan
system khilafah Islam juga di larang.
Ide khilafah yang ditawarkan di Indonesia juga tidak popular, karena
sejak awal bangsa Indonesia telah sepakat untuk mendirikan Negara berbasis
kebangsaan. Untuk mewujudkan Negara
Islam Indonesia telah menelan korban yang cukup besar di awal kemerdekaan
Indonesia.
Kalau kebangkitan Islam diukur dari direbutnya kembali kendali sains dan teknologi,
rasa-rasanya masih jauh panggang dari
api. Sains dan teknologi saat ini
jelas-jelas dikendalikan oleh Negara-negara Barat di bawah kepemimpinan Amerika
Serikat, dan diikuti Jepang, China, Korea
dan India dari negeri-negeri Timur . Negara Islam dan negara berpenduduk
mayoritas Islam saat ini menjadi konsumen dari produk-produk sains teknologi
Barat, dan bahkan dalam kehidupan sehari-hari sudah banyak menyerap peradaban
Barat.
Negara-negara Islam dan berpenduduk mayoritas Islam dewasa
ini telah banyak dipengaruhi konsep
Barat dalam pengajaran sains, yang secara tegas memisahkan ilmu-ilmu umum dari
ilmu-ilmu agama. Menurut peradaban Barat sains haruslah berbasis pada
obyek-obyek yang bersifat empiris, yang dapat diverikasi, dibuktikan
kebenarannya melalui pengamatan. Ilmu-ilmu agama yang banyak membicarakan
hal-hal yang gaib, seperti Tuhan, malaikat dan sebagainya berdasarkan konsep Barat
tidak masuk bahasan ilmiah, karena dianggap sebagai mitologi. Ilmu-ilmu agama seperti itu tidak membahas
tentang fakta, tetapi tentang makna yang sulit dibuktikan secara empiris.
Problema ini sangat
terasa ketika institusi pendidikan agama seperti Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) diubah statusnya menjadi
Universitas yang harus mengajarkan ilmu-ilmu umum. Jelas Universitas Islam
Negeri atau Universitas berbasis agama lainnya
tidak bisa menerapkan sekularisme
ilmu umum dari ilmu agama. Seperti yang dikeluhkan Dr. Mulyadhi Kartanegara
dosen Program Pacasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pengajaran di UIN membutuhkan panduan landasan yang
dapat mengintegrasikan ilmu umum dengan ilmu agama.
Dalam kehidupan praktis dan pragmatis sehari-hari ,sebenarnya
umat Islam Indonesia ini bisa dikatakan beruntung, dapat melihat kemajuan
Islam. Secara kasat mata tigapuluh tahun
silam kita masih jarang melihat orang berbusana muslim dan muslimat, tetapi
saat ini kita sudah biasa melihat
ibu-ibu dan remaja putri berjilbab.
Tidak hanya ketika berada di Masjid, tetapi sudah dikenakan di mana
saja, karena sebuah kesadaran kewajiban untuk menutupi aurat. Kemajuan untuk menuju kebangkitan itu semakin
nyata, karena anak-anak zaman sekarang ini menjadi lebih mudah belajar membaca
Al Qur’an, karena semakin banyak metoda
yang diciptakan. Literatur bacaan dalam bentuk cetakan dan media digital juga
semakin melimpah yang memungkinkan generasi muda Islam menjadi lebih berkualitas
dari pendahulunya. Jadi sudah sepatutnya
di tahun baru 1435 H ini umat Islam Indonesia bersyukur, akan karunia Allah
hidup dalam lingkungan yang relative aman dibandingkan dengan Negara-negara
Islam lainnya yang ditandai dengan reformasi berdarah, perang saudara,
perang antar mazhab.
Memaknai Kebangkitan
Memasuki tahun baru 1435 H ini, umat Islam, khususnya umat
Islam Indonesia perlu merenung sejenak, agar dapat menangkap makna kebangkitan
Islam yang sebenarnya. Kebangkitan yang
diukur secara meterialistis bukanlah menjadi tujuan utama dari agama Islam,
karena senyatanya ajaran Islam lebih menekankan meraih kebahagiaan akhirat
dengan mengambil kehidupan dunia
secukupnya. Memaknai kebangikitan Islam
perlulah memperhatikan masalah pokok tentang Sekularisme, Islam menjadi rahmat seluruh alam semesta,
Islam menciptakan keseimbangan dalam kehidupan.
Sekularisme dalam pengertian
paham yang menyingkirkan nilai-nilai Ilahi (agama wahyu) dalam persoalan dunia,
Negara dan masyarakat, secara historis lahir sebagai reaksi terhadap hegemoni
agama Kristen Eropa pada abad pertengahan.
Waktu itu gereja memiliki wewenang yang besar dalam pemerintahan,
kehidupan sipil, dan penelitian ilmiah.
Gereja melalui lembaga inkuisisi berkuasa penuh mengadili semua pihak
yang melanggar atau yang bertentangan dengan kitab suci. Diawali dengan paham Heliosentris yang dicetuskan Kopernikus pada tahun 1643 M,
dimulailah pertikaian antara ilmu pengetahuan hasil dari akal budi melawan
ajaran Kristen. Paham heliosentris yang
menyatakan bahwa matahari sebagai pusat tata surya bertentangan dengan teks
kitab suci yang menyatakan bumi sebagai pusat tata surya, bahkan pusat alam
semesta.
Dengan lahirnya banyak ilmuwan
yang dilengkapi dengan hasil pengamatan empiris, akhirnya ajaran agama Kristen
semakin diragukan kebenarannya. Celakanya sebagian ilmuwan dan masyarakat
menyingkirkan peran agama termasuk keberadaan Tuhan dalam mengatur kehidupan di
dunia. Agama hanya hidup dalam kehidupan individu, tidak lagi masuk dalam ranah
public. Akal budi manusia dipandang lebih utama untuk menyelesaikan urusan
dunia.
Paham sekularisme ini juga
berkembang pada Negara-negara Islam dan
berpenduduk mayoritas Islam. Korban pertama adalah Turki, setelah bubarnya
kekhalifahan Turki Usmani, segera berdiri Negara Turki Modern yang Sekular,
dengan maksud untuk mencapai kemajuan setara dengan Negara-negara Barat. Namun
sampai saat ini pun Turki Modern belum mencapai kemajuan seperti apa yang
diharapkan. Untuk kasus Indonesia yang
sejak proklamasi berdiri sebagai Negara
Nasionalisme berdasarkan Pancasila,
tentulah tidak tepat disebut sebagai Negara secular. Pemerintah masih mengatur kehidupan umat
beragama, dengan adanya Kementerian Agama.
Negara Indonesia adalah Negara kesepakatan dari semua komponen bangsa
yang beragam yang ber Bhineka Tunggal Ika.
Kembali pada bahasan
kebangkitan Islam, sangatlah bijak kita membersihkan niat, merevitalisasi
tindakan, agar tidak salah arah.
Kebangkitan yang diawali dengan nafsu untuk menjatuhkan hegemoni
peradaban barat dan memberantas ideology yang tak Islami bukanlah niat yang
lurus. Niat yang disulut api kemarahan itu dengan mudah ditunggangi setan, sehingga bukanlah
kebangkitan yang diraih, namun justru kerpurukan. Niat yang lurus tentunya mengacu pada pada
niat Allah dalam menciptakan Adam, yang ingin menjadikannya sebagai khalifah di
bumi. Sebagai khalifah tidak harus
membentuk Negara, tetapi utamanya menyebarluaskan ajaran tauhid dan memakmurkan
bumi. Kekhawatiran malaikat bahwa
manusia itu suka menumpahkan darah haruslah mendapat perhatian umat Islam.
Sebenarnya sebagian umat Islam
secara tidak sadar mengikuti paham secular tentang keberadaan Tuhan. Bukanlah
banyak orang yang mengatakan Tuhan bukanlah materi, dan tidak dapat terjangkau
akal, dan untuk memahami haruslah dengan hati.
Bukanlah Allah telah menyatakan sebagai yang dzahir dan batin, oleh
sebab itu Allah dapat dimengerti melalui akal
dan dapat dirasakan dalam hati.
Hati tempat bersemayamnya iman merupakan wilayah yang rawan, oleh sebab
itu Rasul pun mengingatkan kondisi iman itu sering berubah-ubah. Pasalnya di
dalam dada tidak ada perangkat untuk menilai obyektivitas, sehingga dapat
membuat dua kutub pernyataan ekstrim, senang dan tidak senang, hitam atau
putih, Otak sebagai perangkat akal, yang
dapat memberikan analisis, memberikan pertimbangan, dan menyimpan
informasi. Untuk itu dalam rangka
mengembalikan semangat kebangkitan Islam, umat Islam utamanya para
intelektualnya segera merevitalisasi tentang eksistensi Allah.
Kita sering tersesat, karena
selama ini tidak mempunyai peta untuk menelusuri keberadaan Allah. Kita
terlanjur mensakralkan Allah suatu dzat yang keberadaanNya tidak boleh dibahas.
Akibatnya umat Islam ketika berhadapan
dengan ilmuwan hanya bisa ngotot bahwa Allah itu ada, karena sangat jelasnya
tidak perlu penjelasan. Ketika berpanjang-panjang ulama menjelaskan ayat-ayat penciptaan,
ilmuwan yang mendengar hanya menjawab itu sebagai mitos dan Stephen
Hawking fisikawan hanya menjawab alam
semesta itu berswa mandiri berdasarkan
set hukum yang berlaku.
Islam sebagai rahmat seluruh alam semesta, diisyaratkan
dalam Qur’an Surat Al Anbiyaa’ (21) ayat 107, yang artinya “Dan tiadalah Kami
mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Agar dapat menjadi rahmat bagi semesta alam,
umat Islam wajib meneladani utusan Allah, Rasulullah Muhammad Saw. Mustahil kita umat Islam dapat mencontoh
Rasul secara paripurna, tetapi wajib berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan. Seluruh amalan Rasulullah
adalah amalan unggulan , yang menjadi kebanggaan Allah, sementara kita
umatnya setidaknya berusaha membangun
amalan unggulan dan mempertahankan dengan istiqomah sampai akhir hayat.
Bagi hartawan, kiranya tidak sulit untuk menjadikan zakat,
sedekah sebagai amalan unggulan,
sementara yang berilmu dan tidak kaya sangatlah tepat mengimplementasinya
ilmunya untuk mengelola zakat dan sedekah agar benar-benar menciptakan
kesejahteraan umat. Bagi orang-orang
miskin memiliki peluang yang besar puasa dan sabar. Tetapi orang-orang yang berprofesi militer dan menegakkan ketertiban, seperti
bapak tentara dan polisi janganlah menjadikan puasa sebagai ibadah
unggulan. Rasulullah suatu ketika,
bertanya kepada sahabatnya, ketika melihat Salman al Farisi terlihat kurus kehilangan
kegagahannya. Dari jawaban sahabat, Rasul segera mengetahui kalau Salman al
Farisi sering melaksanakan ibadah puasa sunnah. Kemudian Rasul pun mengingatkan
Salman al Farisi untuk tidak berlebihan dalam berpuasa, bahkan dianjurkan untuk
mengembalikan keperkasaan fisiknya, karena umat Islam saat itu sangat
membutuhkan orang-orang yang gagah yang disegani orang-orang kafir Qurays.
Umat Islam harus pula menjadikan dirinya bermanfaat bagi
lingkungannya, bukan ditakuti tetangganya. Agar menjadi orang yang bermanfaat,
senyatanya harus memiliki banyak kelebihan .
Kelebihan ilmu dan ketrampilan akan menjadi modal untuk berbagi, sebelum
dapat berbagi harta.
Al Qur’an ternyata cukup banyak berceritera tentang
keseimbangan, yang juga disebut sebagai berpasang-pasangan. Turunnya ajaran Islam utamanya untuk
menciptakan keseimbangan antara agama Tauhid dengan agama polyteisme. Menjelang turunnya agama Islam, di sekitar
Jazirah Arab telah berkembang agama
Kristen, Majusi dan Yahudi. Kerajaan
yang dominan adalah Romawi dan Persia. Di wilayah timur di wilayah India dan Cina berkembang agama
Hindu, Budha dengan cirri-ciri local masing-masing.
Puncak kegoncangan bumi, karena ketidakseimbangan ini
diinformasikan dalam QS Maryam : 90-91 : “Hampir-hampir langit pecah karena
itu, dan bumi terbelah, dan gunung hancur lebur. Karena mereka menuduh Al –
Rahman mempunyai anak.” Untuk segera
memulihkan keseimbangan langit dan bumi itu diturunkanlah ajaran Islam melalui
Nabi Muhammad Saw. Dalam waktu relative singkat, Islam menyebar ke barat di
ujung Afrika, ke timur hingga India yang kemudian menyusul wilayah Nusantara.
Fenomena awal penyebaran Islam ke barat dan ke timur
mengikuti garis lintang bumi sangatlah menarik jika ditinjau dari asas
keseimbangan rotasi bumi. Untuk mengembalikan keseimbangan bumi, umat manusia
melalui umat Islam haruslah banyak-banyak menyebut kalimat Allah, tahlil, tahmid dan
takbir. Kalimat Allah ini akan berlangsung secara berkesinambungan jika
Islam tersebar dari barat sampai ke timur, dari Marakesh hingga Merauke,
mengikuti peredaran matahari, yang akan menentukan waktu-waktu salat. Kalau Islam berkembang ke arah utara selatan
, dalam rentang garis lintang bumi yang sempit, tentunya Adzan tidak
berkumandang bersahut-sahutan karena
berlangsung pada waktu bersamaan.
Kebangkitan Islam haruslah memperhatikan keberadaan Islam di
sabuk katuliswa dan garis lintang yang
melintasi wilayah yang padat penduduknya.
Dewasa ini keseimbangan bumi terasa terganggu, karena umat Islam di
sepanjang ujung Afrika hingga Indonesia terganggu kekhusyuannya dalam menyebut
asma Allah. Ada gangguan perang saudara,
usaha deislamisasi seperti di Sudan,
Ethiopia, Somalia dan mungkin juga Indonesia.
Gempa besar Aceh yang kemudian disusul gempa besar lainnya di seluruh
kawasan bumi, menunjukkan bumi sedang kehilangan titik keseimbangan. Gempa dan bencana alam ikutan lainnya adalah
upaya alam untuk menjaga keseimbangan.
Manusia di bumi harus mengetahui fenomena ini, sehingga orang-orang
barat dan non muslim mau mengerti bahwa
peran Islam adalah menjaga keseimbangan dan menjadi rahmat bagi alam
semesta. Saling pengertian peradaban
besar dunia, Islam, Barat, Kristen, Hindu, Budha sangat diperlukan untuk
menjaga keberadaan bumi dan penting untuk memperlambat datangnya kiamat.
Wallahu alam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar