Kamis, 24 November 2016


Berburu Hantu 

Di keheningan malam itu  seorang pemuda belasan tahun  bersama belasan anak-anak tanggung bergerombol di  pinggir lapangan bola. Lapangan bola peninggalan BPM perusahaan minyak Belanda, menjadi tempat berkumpulnya anak-anak kampung. Tidak ada lagi petugas keamanan  yang mengejar-ngejar sejak BPM dinasionalisasi.  Dan tidak terlihat lagi bule-bule yang bermain bola, tidak ada lagi pemandangan  noni dan sinyo yang bermain otopet di jalanan loji –loji komplek BPM di sekitar lapangan bola itu.  Bule-bule itu telah lama pulang ke negerinya nun jauh di sana di Eropa Barat.

Gerombolan anak-anak seperti itu dulu sering  mengganggu dan mengejar sinyo-sinyo Belanda maupun  londo ireng. Orang-orang kampung menyebut employee  atau pegawai BPM pribumi penghuni komplek itu  sebagai londo ireng (Belanda hitam).  Sentimen pada  Belanda dan para priyayi masih terus berlanjut pada anak-anak kampung di pinggiran komplek itu.  Mereka adalah anak-anak para pedagang kecil,  buruh,  pekerja serabutan  yang tak tentu pencahariannya.

“E kang  Benu, kita mau  kemana  ngumpul di sini?  Celetuk Waras salah satu anak tanggung pada pimpinan kelompok.
“Tunggu pak Dirjo nanti kita baru tahu.” Benu menjawab singkat.  Suasana kembali hening, anak-anak itu menduga-duga. Waras dan anak-anak itu berpikir tak mungkin malam itu mereka latihan bela diri. Pak Dirjo bukanlah pelatih silat mereka. Pak Joyorejo lah pelatih silat dan ketangkasan mereka. Pak Dirjo setahu mereka seorang guru  SMP di kota nya dan baru dua bulanan pindah di kampung pinggir komplek itu.

“Selamat malam anak-anak”  sapa seorang bapak yang tiba-tiba muncul di belakang mereka.  Anak-anak yang tertidur meringkuk kedinginan di sarungnya  geragapan  bangun. “Salamat malam pak” sahut Benu diikuti saur manuk anak-anak.  Pak Dirjo  yang perawakannya sedang, malam itu memakai baju hitam celana hitam. “Ayo kita berangkat.” Ajaknya tanpa menyebutkan tujuannya.
Pak Dirjo bersama Benu berjalan di depan, diikuti anak-anak yang  agak kebingungan. Mereka tak mau bertanya , selain belum akrab,  mereka sebenarnya sudah mengantuk. Anak-anak itu seolah-olah berjalan setengah sadar, hanya mengikuti pimpinannya.  Mereka memang bangga pada  kang Benu, yang menjadi idolanya.  Ya Benu lah yang dikenal sebagai anak pintar di kampungnya dan trampil mengolah kulit bundar.  Mereka adalah tim sepak bola anak-anak kampung di bawah asuhan Benu.
Mereka berjalan meninggalkan jalan komplek, mengikuti jalan setapak yang menuju ladang dan sawah. Beberapa rumah yang dilewati gelap, sunyi, penghuninya masih dipeluk mimpi. Penghuni kampung itu mungkin saja mimpi indah, sebagai pelipur  lara. Namun pasti mereka menyesal ketika bangun, karena masih berada di rumah gedeg yang telah lapuk di makan rayap dan waktu.

“Awas  hati-hati banyak telo (rekahan tanah)” pak Dirjo mengingatkan  ketika mereka telah sampai di persawahan jauh dari rumah penduduk.  Dengan tertatih-tatih  mereka melintasi pematang sawah .  Telapak kaki mereka sudah terbiasa menginjak kerikil, bebatuan dan  tajamnya tanah yang mengeras. Telapak kaki itu tidak pernah mengenal empuknya sol  sepatu atau sandal, mereka sudah terbiasa dlamak (telanjang kaki) sejak lahir.

Perjalanan mereka tidaklah lama. Setelah mendaki bukit kecil mereka sampai di pinggiran sebuah pemakaman umum.  Atas instruksi pak Dirjo mereka berhenti. “Ayo Benu bagi tugas pada anak buahmu’” pak Dirjo memberi perintah.
“Kawan-kawan, sekarang kita akan masuk ke pekuburan . Tapi nggak bersama-sama , kita berpencar . Kamu Waras bersama Samin ke pojok utara timur.  Giono sama Tarno ke  pojok utara barat.  Yang lainnya berdua-dua mencari tempat masing-masing yang agak berjauhan dan nanti kalau ada bunyi peluit ngumpul lagi di sini”  Gerombolan anak- anak itu terbagi dalam delapan kelompok dan segera berpencar mencari lokasi masing-masing.  Mereka  tak mendapat petunjuk apa pun,  bak kerbau dicocok hidung, mereka menurut. Kalau bukan karena kang Benu mungkin saja mereka protes atau lari pulang ke rumah masing-masing. Pak Dirjo dan Benu berada di sebuah cungkup  yang cukup  bagus.  Cungkup itu tampak baru di bangun oleh ahli warisnya, namun dari tulisan di kijing terbaca : Broto Widjojo wafat tahun 1950. Itu sudah belasan  tahun berlalu.

“Lho kita kok di pekuburan angker gini, ngapain.”  Samin mengadu pada Waras. “Kita nggak tahu, tapi apa kamu takut bocah angon.” Timpal Waras.
“Takut sih nggak, tetapi apa kang Waras nggak dengar  minggu lalu ada anak yang mati tenggelam di bengawan .”
“Ya aku lihat sendiri waktu orang-orang mengangkat mayatnya. Kata orang sudah dua hari mayat itu di cari, jadi sudah membusuk dan menggembung perutnya.”  Cerita Waras membuat hati Samin menjadi ciut.
“Lalu apa hubungannya mayat anak tenggelam itu dengan pemakaman ini.” Waras balik bertanya.
“Apa kang Waras nggak tahu, mayat anak itu kan di kubur di sini.”   Semilir angin malam membawa bau anyir, dari jenazah-jenazah yang baru dikuburkan.  Liang kubur di musim kemarau itu tidak tertutup rapat, karena bongkahan tanah yang kering tak dapat dipadatkan.  Kubur itu pun tidak disirami karena sulitnya mencari air.  Untuk masak dan mandi pun orang-orang harus mengantri di ledeng umum sumbangan perusahaan minyak.  Ledeng umum itu mengalir airnya hanya tiga empat jam sehari dan sering pula macet karena pompa di pabrik rusak.
“Kang, kata orang, pocong anak itu nggak diuculi (di lepas talinya).Jadi dia penasaran minta tolong untuk di lepas tali pocongnya.” Sayup-sayup terdengar suara burung  kuburan burung culik. “Coba dengar itu kang, ada suara congculi, congculi, pertanda pocongnya minta diuculi.”
“Ah masak iya. Itu kan suara burung kolik.” Waras tampak membesarkan hati.

“Aduh-aduh. Trembelane.” Sebuah teriakan bagian tengah kuburan.  Terlihat remang-remang Sunar dan  Mustofa mengibas-ngibaskan tangannya ke badannya.  Mereka berdua berlari ke pinggiran pekuburan ke tempat yang lapang.  “Sudah di sini saja, di sana banyak semut rangrang.” Ujar Sunar. “Gimana kalau pak Dirjo marah.” Timpal Mustofa. “Peduli amat”.

Kelompok   lain Jarot dan Wisno yang dikenal pemberani, berada di bawah pohon asem jawa yang sudah ratusan tahun umurnya. Lingkaran pohon itu cukup besar hampir tiga pelukan orang dewasa, menjulang tinggi dengan daunnya yang rimbun. Di bawah naungan pohon asem itulah terdapat makam keramat, mbah  Sosro yang konon orang pertama membangun kampung di sekitar makam itu.  Orang yang dikenal sakti dan bijaksana itu sewaktu hidupnya, kini makamnya menjadi tempat berziarah. Sering pula orang-orang yang bernadzar mengadakan syukuran di makam mbah Sosro, dengan bancakan, bahkan menggelar pertunjukan wayang kulit atau wayang menak (wayang golek  cerita sejarah Islam).

Belum genap sebulan lalu pakde  Kerto  tetangga Jarot juga bancakan di makam itu.  Pakde Kerto itu bernadzar kalau isterinya beranak dia akan sesajen di makam mbah Sosro. Maklumlah pakde Kerto lelaki paruh baya itu sudah berumah tangga puluhan tahun belum pula berputra. Itulah sebabnya pakde Kerto terpaksa nikah lagi sama yang lebih muda, dan ternyata setelah lima tahun hamillah istri mudanya itu. Tetapi tersiar pula kabar burung, bukan pak Kerto yang membuat isteri mudanya itu hamil.

Jarot dan Wisno  menghirup aroma kembang bunga telon (mawar, kenanga dan gading) yang ditaburkan di atas makam. Juga sisa-sisa bau bakaran kemenyan masih tajam, tetapi tak membuat bulu kuduk ke dua anak itu merinding. Anak anak kampung itu sudah biasa kluyuran malam, blusukan, kumpul-kumpul bermain perang-perangan, atau mencari buah-buah jatuh dimakan codot. Kenakalan anak-anak itu juga pernah menghabisi buah mangga pak  Jamal yang dikenal pelit.
Diantara bau kemenyan dan kembang telon, Jarot mengendus bau lain yang membuat perutnya kemerucuk.  “Sini sentermu Wis, ada rejeki kita malam  ini.”   Jarot menyorotkan senter ke pangkal pohon asam.  “Ayo itu ambil Wis, panggang ayam sesajian,  yah kita pesta besar,”
Jarot dan Wisno segera bersila di plesteran disisi makam mbah Sosro. “Mbah permisi ya kami ikut makan di sini.”   “Ee, bagaimana kawan kita yang lain.” Celetuk Wisno. “Nggak usah dipikirin, percuma dibagi banyakan, nggak jadi daging.” Jarot menjawab tegas.  Mereka berdua sangat menikmati ayam panggang sesajian mbah Sosro.  Sudah lama mereka tidak makan daging ayam atau telur.  Kalau lah mereka menemui menu makanan itu di rumahnya , sebutir telur dipotong jadi empat untuk berbagi dengan saudara-saudaranya. Menu rutin mereka ya sayur asem bayung (daun kacang panjang) , daun ketela, dengan lauk gereh (ikan asin paling jelek).  Mereka sudah tidak lagi makan nasi beras. Nasi jagung itu sudah untung, kalau tidak ya makan thiwul  dan bulgur.

Tahun enam puluhan itu tahun-tahun yang memprihatinkan. Kemiskinan dan kelaparan memang tidak mengemuka, dibalut semangat nasionalisme.  Anak-anak kampung itu tidak merasa susah, mereka tetap riang gembira sebagaimana umumnya anak-anak yang sedang tumbuh. Tak ada seorang pun yang membuat mereka iri. Mereka senasib  mengikuti  alur sejarah revolusi yang belum berakhir.
Seekor ayam panggang itu tandas dilahap Jarot dan Wisno sampai licin dari tulang-tulangnya.  Tulang rawan dan sumsum , dihisap habis-habisan.   Sebagai ganti air minum mereka mengulum buah asem yang banyak rontok di situ.  Mereka berdua sibuk menggosok-gosok tangan dan mulutnya dengan sinom  untuk menghapus aroma panggang ayam.

“Priiiiiit” suara peluit  Benu memecah keheningan malam. Kelompok anak-anak bergegas berkumpul kembali di pinggiran pekuburan di sisi barat. Tak banyak cerita, mereka segera kembali ke markas  di tribun kecil lapangan bola. Sesampainya di markas anak-anak  segera duduk  berhimpitan  menunggu penjelasan pak Dirjo.
“Nah anak-anak, kalian tentu  ingin tahu tujuan petualangan malam ini. “ pak Dirjo membuka pengarahan. “Apa kalian percaya hantu dan setan itu ada.”  Tanya pak Dirjo.  “Percaya”  suara anak-anak serempak.  “Apa kalian tadi ada yang melihat hantu.” Lanjut pak Dirjo.  “Tidaak.”
“Lho tidak lihat kok percaya.”
“Hantunya takut sama kita pak, itu sama Bendot.”  Mereka menyebut kawannya Bendot yang mukanya bopeng bekas cacar. “Ha-ha-ha. Anak-anak tertawa riang.
“ Baiklah, tapi kita ini percaya hantu , sundelbolong, atau wedhon, kan baru dari cerita dari mulut ke mulut.  Banyak yang belum pernah lihat sendiri, seperti kalian malam ini. Bapak sudah puluhan kali kluyuran dan blusukan di tempat angker, juga nggak pernah disatroni hantu.Kalau ketemu begal pernah.
“Begalnya dilawan pak.” Anak-anak nyeletuk.
“ Ya enggak, wong bapak nggak bawa uang, paling-paling begalnya minta rokok.”
“Di zaman maju ini kita nggak boleh percaya takhayul, nggak boleh percaya pada mitos sebelum dibuktikan kebenarannya.  Menurut bapak dan ilmu pengetahuan , hantu dan cerita takhayul itu khayalan dari kita sendiri.  Ketika kita dalam ketakutan, enerji kita kecil, maka banyak gas-gas di sekitar kita menyatu dan membentuk bayangan.  Karena ketakutan bayangan bayangan itu membentuk seperti yang sering kita dengar yang disebut bermacam-macam hantu.” Pak Dirjo menjelaskan panjang lebar.

Anak-anak yang sudah mengantuk itu, tak begitu jelas mendengar apa yang dikatakan pak Dirjo. Mereka juga tak tahu apa maksud pak Dirjo menjelaskan hantu-hantu itu.  Mereka memang percaya begitu saja apa yang pernah dikatakan kakek nenek mereka.  Mungkin hanya Benu lah yang sedikit dapat menangkap maksud pak Dirjo.  Maklumlah Ario Benowo nama lengkap Benu   sudah kelas dua Sekolah Guru Atas (SGA)  juga aktif di organisasi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI).
“Nanti dulu pak Dirjo, bagaimana tentang Tuhan atau Gusti Allah, apa perlu dibuktikan kebenarannya.” Tanya Benu dengan semangat.
“Ya disini kita perlu berhati-hati.Kita harus rasional dalam melihat Tuhan. Apakah selama ini Tuhan selalu membantu kita.  Kalaulah Tuhan kita anggap sebagai pencipta, tetapi setelah itu apakah  Tuhan peduli. Perlu pembuktian  kalau Tuhan itu ada. “

Benu tercenung, sebagian anak-anak sudah meringkuk tak tahan menahan kantuk.  Benu menatap langit, pikirannya menerawang  sampai lapis ke tujuh yang  dalam pewayangan  disanalah kahyangan tempat para dewa bersemayam.  Gusti  Allah tentu berbeda dengan dewa.  Dewa itu dekat dan memanusia, sedangkan Gusti Allah tak dapat dibayangkan.  Benu dan anak-anak itu berada di lingkungan yang jauh dari ajaran agama Islam.  Kisah, informasi tentang Gusti Allah sangatlah sedikit, sebatas menghapal rukun iman dan rukun Islam tanpa mengamalkannya.  Generasi kakek nenek mereka  masih penganut  anismisme, sementara ibu bapak mereka generasi peralihan yang tak sempat mencari Tuhan karena urusan  perut.

Peristiwa berburu hantu yang dilakukan kelompok anak-anak kampung itu tidak banyak menarik perhatian orang tua mereka. Tak ada yang kawatir kalau anak-anak itu digiring untuk tidak percaya pada hantu, setan dan yang serba ghaib.  Warga dari sebuah lorong di kampung itu mayoritas generasi kelahiran tahun 1920-1930 an, dan ada beberapa kakek dan nenek kelahiran akhir abad 19 dan awal abad 20.  Mereka generasi yang lahir dan dibesarkan dalam pergolakan besar dunia.  Secara tak langsung mereka kena imbas perang dunia pertama di Eropa, Krisis Ekonomi Dunia  (malaise) tahun 1930. Secara langsung mereka korban-korban perang dunia ke dua, mengalami kelaparan dan kerja paksa di zaman penjajahan Jepang.  Mereka baru pula terlepas dari perang kemerdekaan pada tahun limapuluhan.

 Sebagian besar mereka tidak mengenyam bangku sekolah, mereka buta huruf dan yang lebih parah lagi buta agama.  Batasan-batasan keimanan dan pemeliharaan dengan amal tidak pernah mereka dengar.  Mereka hanya percaya ada Yang Membuat Hidup, dan untuk urusan moral budi pekerti mengikuti naluri fitrah kemanusiaan.   Setidaknya mereka mengingat ajaran Mo Limo, yang tidak Maling (mencuri), Madon (berzina), Madat (narkotika), Main (berjudi), dan Minum (minum yang memabukkan).
Ritual keagamaan harian hampir tidak mereka kenal.  Masjid dan surau menjadi di luar jangkauan. Kalau bulan puasa tiba, hampir tidak ada yang berpuasa , tetapi pada hari likuran mereka menyempatkan  memasak besar untuk diantar ke tetangga.  Setiap keluarga mempunyai  pilihan waktu yang berbeda antara malam 21 sampai 29 pada angka-angka yang ganjil.  Malam likuran itulah malam yang menyenangkan bagi anak-anak, karena dapat menikmati makan enak,  ada daging,   ayam dan telur. Mereka terlihat sebagai pemeluk agama Islam, ketika ada yang meninggal dunia, karena harus dikafani, disalatkan dan dikuburkan.

Ritual animism penghormatan pada leluhur masih dilakukan di setiap malam Jumat, dengan membuat sesaji sederhana, bunga telon di jambangan kecil dan makanan kecil seadanya. Kata para mbah itu untuk menjamu para leluhur yang menjenguk anak cucunya. Tak ada mantra-mantra khusus pada ritual itu, mereka bebas berdoa dengan bahasa Jawa bahasa yang mereka kuasai.  Mereka berdoa minta rezeki  dan minta anak cucunya lebih pintar sekolahnya, agar terlepas dari kebodohan.  Dalam kebodohan  sebenarnya mereka menyimpan kearifan, karena mereka sadar akan kebodohan itu.  Mereka tidak mengenal  pa pincang atau bengkoknya huruf lam arab. Kearifan inilah yang membuat semangat menyekolahkan anak. Mereka selalu menyuruh anaknya  berangkat sekolah sepagi mungkin, walau hanya dengan cuci muka dan gosok gigi dengan arang.

Ulah anak-anak berburu hantu tak menjadi pikiran bagi mereka. Apalagi bersama Benu pemuda idola kampung dan pak Dirdjo pak guru yang sangat mereka hormati.  Anak-anak mereka sudah terbiasa tidak tidur di rumah, mereka biasa tidur berkelompok dan berpindah-pindah.  Itulah sosialisasi mereka  agar dapat mengenal lingkungannya.
Berbeda dengan yang lain orang tua Mustofa yang satu-satunya muslim taat di lorong itu merasa gusar mendengar cerita anaknya.  Disuatu sore seusai salat Maghrib berjamaah bersama anak dan isterinya, Abdullah bapak Mustofa membuka pembicaraan.
“Anak-anakku, kita bersyukur  menjadi orang yang mendapat hidayah untuk mengenal Islam.  Walau belum sempurna, setidaknya kita mengenal Rukun Iman yang enam.” Suasana hening, Mustakim dan Mustofa dua kakak beradik tafakur menanti  wejangan sang ayah. “Sesuatu yang ghaib seperti Allah, Malaikat, Syaithon , tentu sulit dibuktikan. Keyakinan adanya Allah ini harus kita semai di dalam hati, di pupuk dengan amal, baru akan datang ketenangan dan kedamaian. Kalau orang sejak awal tidak membuka hati, sudah tentu dia tidak akan menemukan Tuhannya. “  Pak Abdullah  menghela napas panjang, mengharap anaknya dapat menangkap nasihatnya.  Ada beban berat di hati pak Abdullah dalam menghadapi lingkungannya. Niatan dapat mengubah lingkungan tak juga terwujud, terkendala keterbatasan ilmu dan sarana.

“Engkau Mustakim dan Mustofa, bapak minta berhati-hati dalam bergaul.  Ikutilah permainan anak-anak yang wajar, tetapi jagalah keimanan.  Menjauhlah dari organisasi politik, seperti ajaran-ajaran pak Dirjo.”
“Insya Allah pak, kami dapat melaksanakan amanat bapak. “ Mustakim kakak Mustofa meyakinkan hati ayahnya.
Wajah pak Abdullah sedikit sumringah, bersyukur kepada Allah sejauh ini dapat melaksanakan ajaran Islam walau masih sedikit.  “Ayo pak ajak anak-anak makan .” suara  Halimah isteri pak Abdullah   mencairkan keheningan.  Di meja makan tersaji makanan yang halal, hasil dagang pak Abdullah dan jualan nasi pecal bu Halimah.

Senyatanya asal usul keluarga Mustofa itu dari desa lain, sebuah desa di pinggiran Bengawan.  Di sepanjang aliran Bengawan  kebanyakan penduduknya lebih mengenal Islam dibanding orang-orang yang jauh dari sungai.  Komunitas Islam lebih terlihat, yang ditandai banyaknya orang berkopiah dan berkerudung.   Bengawan itu menjadi  jalur  perjalanan yang penting sejak zaman prasejarah.   Sebelum tranportasi  mobil dan kereta, jalur sungai itu menjadi andalan para saudagar dan para ulama dalam berdakwah.  Untuk menyelamatkan akidah itulah Mustakim dan Mustofa tidak sekolah di Sekolah Umum, tetapi masuk Sekolah Muhammadiyah.  (***)

Cerpen di atas terinspirasi dari kisah nyata.  Guru Aljabar saya menyempatkan berceritera bahwa kepercayaan pada yang gaib itu takhayul. Hanya merupakan ilusi dan anggapan belaka. Dikatakan orang harus rasional, menggunakan akal dan percaya pada hal-hal yang nyata.  Waktu itu saya nggak begitu ngerti maksud pak guru. Baru ngerti setelah pak guru terlibat G30S/PKI.  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar