Rabu, 09 November 2016

Cerita Pendek


Ini ceritera pengalaman pribadi dengan bumbu-bumbu  biar sedikit ramai.

Becik ketitik Ala ketara

Oleh Mudjiono

Baru saja  aku akan membelokkan sepeda ke halaman kantor, tiba-tiba  bi Mariyah tergopoh-gopoh menghampiri seraya setengah berteriak berkata “Nak Jono kantornya dibobol maling,!!!”  Terkesiap darahku naik ke ubun-ubun, dan segera menyandarkan sepeda ke tembok belakang kantor pos. Ku lihat dari kejauhan pintu kantor sudah terbuka, setelah kudekati gembok ganda sudah lepas dari daun pintu. Kunci utama tidak rusak, karena sudah seminggu ini tidak berfungsi dan belum diganti. Aku terduduk lunglai di teras kantor, tak tahu mau berbuat apa.  “Nak ini minum teh hangat dulu biar tenang,” bi Mariyah  pemilik kios kecil yang sudah lama mangkal di depan kantorku  menyodorkan segelas teh yang masih mengepul asapnya. Segera ku minum pelan-pelan, terasa manis namun tak mengurangi kalutnya pikiran dan gundahnya hati.
 
Aku paksakan diriku masuk ke dalam kantor, kulihat tidak ada sesuatu yang rusak.  Aku lihat jam dinding baru menunjukkan angka enam sepuluh menit. Masih ada waktu dua puluh menit lagi  untuk menghidupkan perangkat telegrap radio untuk memulai hubungan dengan kantor telegrap di Bandung. Walau  schedule belum dimulai  scalar di meja telegrap langsung aku on kan.  Radio penerima aku nyalakan dan langsung tuning frekuensi pemancar radio telegrap Bandung.  Call sign pemancar radio telegrap Pangkalpinang kantor tempat kerjaku segera mengudara melalui pesawat otomat yang mampu mengirim enampuluh kata per menit.

Aku segera mengambil kotak yang berisi uang penerimaan telegram sore kemarin.  Jantung berdegup,  pandangan kabur diselimuti kunang-kunang yang kesiangan.  Tanganku gemetar, mengambil amplop coklat kosong.  Tertinggal di dalamnya  lembar T10 daftar penerimaan telegram di loket kemarin, dan tembusan resi T7 bukti pembayaran telegram.  Sesuai  dengan jumlah  penerimaan telegram yang tertera di model T10, uang duapuluhdua ribu empatratus limapuluh rupiah  raib digondol maling.

Aku segera menghampiri telepon engkol local baterai, aku putar tiga kali untuk menghubungi  stasiun radio pemancar dan di sana pula tempat rumah dinas Kepala Kantor.
“Halo pak Jono, pemancar sudah on air”  suara Badrun di ujung sana.  Badrun itu petugas serbaguna, penjaga pemancar, sopir, juga tukang kebon, yang statusnya masih tenaga lepas harian.
“Oke baguslah, tetapi tolong panggilkan pak Bastian penting banget.”
Sesaat kemudian : “Ada apa Jon,” suara pak Bastian dengan nada kurang menyenangkan. “Pak kantor telegrap kecurian.”  “Gubraaaak” suara telepon dibanting. Telepon engkol warna hitam dari ebonite itu walau sudah tua tapi tetap tahan banting.

Sampai tahun 1977 Perumtel di Pangkalpinang ibukota kabupaten Bangka Belitung belum memiliki sentral telepon.   Semua infrastruktur dari listrik, telepon dan air dikelola PT Tambang Timah Bangka (TTB).  Bisa jadi TTB lebih banyak mengurus kepentingan social di banding bisnis timahnya. Sentral telepon Pangkalpinang sudah otomat, tetapi hanya terbatas untuk hubungan telepon di Bangka. Perumtel di Bangka hanya melayani jasa telegram ke seluruh kota di Indonesia  dan interlokal Single Side Band (SSB) hanya dengan Jakarta dan Palembang.  Perumtel hanya punya tiga lokasi kantor, kantor telegrap, stasiun radio penerima sekaligus Kamar Bicara Umum dan stasiun radio pemancar.  Hubungan antar kantor, satu kali putar untuk kantor telegrap, dua kali putar untuk stasiun radio dan tiga kali putar untuk stasiun pemancar.

Pukul enam tiga puluh, Suryadi  sang caraka pengantar telegram datang. “Yang hilang apa pak,”
“Uang telegram kemarin.”jawabku singkat. Tidak banyak tanya dia langsung menyapu, mengepel dan beres-beres dokumen kantor. Dia masih berstatus tenaga lepas harian, yang menggantikan ayahnya yang diberhentikan karena tersangkut Serikat Buruh  under bow PKI.  Tidak seberapa lama setelah datangnya caraka, suara mobil masuk di halaman kantor. Halaman kantor telegrap itu tampak sempit, setelah  Mobil dinas pickup  Chevrolet 1950 an  di parkir di situ.

 Pak Bastian Anwar Kepala Kantor Stasiun Radio Telegrap Pangkalpinang, turun dari mobil dinas. “Selamat pagi pak,”  Tanpa menjawab salamku, pria beruban yang sebentar lagi akan pensiun, langsung memeriksa pintu, lalu masuk melihat lemari tempat menyimpan model-model formulir administrasi telegrap dan disitu pula  ditaruh peti uang penerimaan telegram.
“Berapa uang yang hilang” tanya pak Bastian.
“Dua puluh dua ribu empat ratus lima puluh  rupiah pak.” Jawabku
“Benar kamu nggak ngambil uang itu?”
“Tidak pak” aku tertunduk malu, merasa kurang hati-hati.
“Siapa saja yang sudah datang?
“Baru caraka pak, yang lain biasanya jam tujuhan.” Aku menjelaskan.
“Gini dulu, kamu lanjutkan kerjaan, kasihan operator Bandung nunggu.”

Aku segera duduk di kursi operator yang berangka besi, berjok rotan.  Kukenakan headphone, kudengar irama morse, “yby 4 de pma 26, zhc, zhc, zro” berulang-ulang.  Kawan-kawan operator di Bandung menunggu konfirmasi  untuk segera mengirim telegram ke Pangkalpinang.  Maklumlah semua telegram tujuan Pangkalpinang dari seluruh Indonesia baik ari Ambon di timur maupun Bandaaceh di barat harus transit di Bandung. Itu sudah menjadi routenya tidak ada pilihan lain.
Segera aku mengetuk tuas pengirim kode morse bersandikan zok, zok, pse ga, yang artinya siap silahkan kirim telegram.  Aku sebagai operator telegrap morse terlamban  dibanding operator senior di Bandung yang sanggup menerima kode morse dengan kecepatan 50 sampai 60 kata per menit.

 “Bk, bk,” yang berarti break  sering kuketuk agar operator Bandung mengulangi pengiriman.  “Minggir, minggir, ganti pak Ramdhan’………”  Jawaban operator Bandung yang sengaja diputar di mesin pengirim otomatnya. Kata-kata sanjungan yang menyakitkan tak pantas diubah dalam ucap dan kata. Operator kantor telegrap Bandung tidak sabar mengirim telegram  zss alias send slowly, inginnya zsf send faster tanpa break.
Yah pak Ramdhan dan pak  Ahmad operator handal di Pangkalpinang yang baru seminggu ini berhenti. Mereka adalah korban G30S PKI, karena terdaftar sebagai anggota Serikat Buruh.  Keahliannya  tidak bisa dimanfaatkan karena adanya peraturan, lagi pula sudah disiapkan pengganti, walau baru bisa menerima tiga puluh kata per menit. Itulah dunia operator yang eksentrik, yang sepertinya ingin mendapat perhatian, ingin dilihat keahliannya yang sudah langka. Tetapi kenyataannya memang operator telegram itu terkungkung di ruang kerja, tidak diketahui pelanggan.  Petugas loket itu masih sempat bergurau dengan pengunjuk telegram, apalagi caraka banyak ditunggu juragan dari juragan daging sapi sampai tukang jamu keliling. Hati operator Bandung luluh juga, dan mengirim telegram dengan kecepatan duapuluhlima kata per menit.  Satu per satu telegram ku terima tanpa banyak break.

Sambil menerima telegram, aku masih sempat memperhatikan pak Bastian yang duduk di kursi Ketua Telegrap sambil memperhatikan model T10, penerimaan telegram yang ditutup kemarin sore.  Menjelang jam tujuh hampir bersamaan datang, pak Tanto Ketua Telegrap, Abdullah Umar teknisi telegrap, dan Syamsu Alam petugas loket pagi.
“Sini kumpul dulu, ada masalah yang harus diselesaikan.” Perintah pak Bastian.
Mereka menarik kursi dorong, duduk diam dihadapan pak Bastian. Tampak wajah-wajah yang takut disalahkan.  Dari bi Mariyah mereka pasti sudah tahu kantor ini dibobol maling semalam.
“Kalian sudah tahu kantor kita kemalingan.  Tidak ada barang berharga di sini. Pencuri tak akan mau menggotong radio penerima kuno peninggalan Belanda. Hanya uang telegram yang hilang.” Pak Bastian menghela napas panjang.
“Nasi sudah menjadi bubur, sekarang tindakan apa yang perlu dilakukan? Pak Bastian minta pendapat.
“Ini tanggungjawab saya pak; “ ujar pak Tanto Ketua Telegrap. Tetapi bagaimanapun juga Jono yang bertugas paling akhir kemarin sore harus ikut bertanggungjawab, mengganti uang yang hilang itu. Lanjut pak Tanto.
“Perkara ganti rugi itu nanti, yang penting kita perlu lapor ke polisi apa tidak.” Pak Bastian minta penegasan.
“Baiknya lapor pak, kan sudah banyak orang luar yang tahu, juga kawan-kawan di kantor Pos di sebelah juga tahu. Apalagi kantor Polsek hanya duaratusan meter dari sini”saran pak Umar.
“Baiklah, kalian bekerja seperti biasa, saya akan melapor untuk kepentingan dinas.”

Mendengar pembicaraan itu, hatiku semakin tersayat. Mengganti uang Rp.22.450,- yang tiga kali gaji pegawai golongan IC memang cukup berat. Sebagai anak rantau, aku harus bisa mengatur gaji bulanan yang kurang dari tujuh ribu rupiah. Namun yang terasa lebih mencekam dan memalukan harus berurusan dengan polisi, yang akan memakan waktu panjang. Kata nenekku sewaktu aku kecil jangan sampai berurusan dengan polisi.   Aku juga  ingat pak Ketua RT di kampung tempat ku sewa rumah, yang akhirnya kerepotan karena melaporkan perkelahian warganya ke polisi. Nasihat sesepuh di kampung agar menyelesaikan masalah secara kekeluargaan  tidak diperhatikan pak Ketua RT.

Menjelang jam sepuluh, dua orang penyidik polisi datang ke kantor. Mereka agak kecewa karena barang-barang bukti itu sudah tersentuh banyak orang.  Setelah mengambil sidik jari pegawai dan melakukan penyelidikan seperlunya mereka segera meninggalkan kantor, pergi bersama pak Tanto Ketua Telegrap.  Dalam percakapan mereka tersirat pencurian ini dilakukan orang dalam.
Siang itu, seperti biasanya setiap jam tigabelas operator shift pagi selesai jam kerjanya dan dilanjutkan operator shift sore sampai jam tujuhbelas atau jam lima sore. Ruslan yang orang Sunda sudah duduk di kursi operator menggantikan posisiku.   Operator shift sore ini akan  merangkap menjadi petugas loket, dan kadang harus menghidupkan genset kalau aliran listrik dari TTB terputus.  Sedangkan caraka lebih banyak keluar mengantar telegram ke seantero  kota Pangkalpinang.

 Operator shift sore inilah yang bertugas menutup pintu kantor, dan keesokan harinya bertugas membuka kantor, dan  siap on air pada jam enam tiga puluh pagi. Begitulah rutinitas yang sudah dianggap sebagai prosedur tetap dari tugas sang operator telegrap.
Kekhawatiranku menjadi kenyataan, karena siang itu selepas jam kerja aku harus menghadap Petugas Unit Reserse Kriminal (Reskrim) Polsek Pangkalpinang.  Hermanto nama penyidik polisi itu.
“Nggak usah takut, kamu hanya saya minta keterangan.” Pak Hermanto memecah kesunyian dan kekakuan. “
“Benar namamu Mudjiono,”
“Ya pak,” aku menggangguk sedikit lega. Mungkin bapak penyidik ini orang Jawa yang kasihan sama perantau muda Jawa, hingga interogasinya lemah lembut.
“Sudah berapa lama kerja di Pangkalpinang?
“Tiga tahun ,” jawabku singkat.
“Gajimu cukup tidak untuk hidup sebulan ? pertanyaan agak memancing.
“Yah dicukup-cukupkan pak,”
“Apa kamu butuh uang untuk keperluan mendadak! Tanya penyidik agak mendesak.
“Tidak pak, “
“ Baik sekarang begini saja, untuk keperluan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), tolong tulis saja kronologis kejadian yang kamu alami, dari sore hari kemarin sampai pagi hari tadi. Tulis di atas kertas segel lalu di tandatangani. “
“Setelah itu bagaimana pak.” Aku minta penjelasan.
“Yah serahkan ke Kepala Kantor supaya dibawa ke sini bersama berkas lainnya.”
Hati sedikit lega, karena tidak ada interogasi seperti yang ada di cerita-cerita detektif.  Hari itupun laporan kronologis kejadian, aku tulis serinci-rincinya, dari masalah kunci, sampai hilangnya uang penerimaan telegram.  Tidak banyak orang yang terlibat di kantor ku, hanya Ketua Telegrap pak Tanto sebagai atasan dan pemegang kunci duplikat kantor.

Malam merayap sangat lamban.  Kantuk mataku tak kunjung tiba, teringat peristiwa yang telah berlalu, dan terbayang masa depan yang suram. Alangkah malang perjalanan hidupku, memulai karir bekerja yang tidak membanggakan. Aku ingat hari-hari penantian empat tahun silam, setelah menempuh tiga tahap test masuk Perumtel.  Surat berstempel logo Perumtel akhirnya datang, waktu itu dengan harap-harap cemas ku buka.  Aku tersingkir dari seleksi  masuk pendidikan pengatur muda teknik telekomunikasi  yang disingkat PMTNT.  Masih ada berita baiknya  ada secercah harapan, Perumtel  memberi kesempatan mengikuti job training (latihan kerja) sebagai juru operator telegrap radio yang diselenggarakan di Palembang.

“Ini kesempatan bagus untuk menjadi pegawai negeri yang jelas masa depannya.” Nasihat kakak iparku memberi semangat. “Perumtel kelihatannya bagus, kantornya ada di mana-mana” tambah kakakku. Bagiku kesempatan itu  adalah kesempatan untuk membebaskan beban kakakku yang selama ini telah menyekolahkan sampai SMA.  Aku ingat dengan bekal pas-pasan, aku tinggalkan Bandung menuju Palembang.

Aku berangkat bersama-sama tiga orang kawan yang senasib untuk mengadu untung di Palembang. Kami  naik kereta api ekonomi, Bandung ke Jakarta Kota, ganti kereta sampai Merak. Selama menunggu di stasiun kota yang terkenal dengan sebutan Beos aku sempat melihat anak-anak muda yang menyebar ke beberapa lokasi membawa papan dada dan pensil.  Mereka asyik menggambar sked perspektif stasiun kota dari berbagai sudut pandang. Aku kagum melihat arsitektur stasiun Beos  , dengan konstruksi pilar-pilar baja yang melengkung. Kata orang arsitekturnya  kombinasi art deco Belanda dan local, karena arsiteknya orang Belanda kelahiran Tulungagung.  Arsitek itulah yang sebenarnya menjadi idamanku. Tetapi untuk meraihnya memerlukan pengorbanan banyak orang. Ada batas-batas kemampuan, ada batas-batas keikhlasan yang perlu dipahami.

Menjelang waktu asar kereta jurusan Merak sudah siap di jalurnya, kami berempat segera naik untuk cepat-cepat berebut tempat duduk. Beruntung penumpang lagi sepi, hingga kami mendapatkan kursi di bagian tengah. Tidak ada yang menarik sepanjang perjalanan Jakarta Merak.  Sekitar jam tujuh malam kami sampai di pelabuhan Merak, banyak kapal dan perahu di dermaga, tetapi belum tahu kapal mana yang akan kami naiki. Kami berjalan mengikuti arus  beristirahat di peron stasiun.
Blast suara klakson kapal menggema, disusul  pemberitahuan agar penumpang jurusan Panjang Lampung segera naik ke kapal. Penumpang antri menaiki tangga mencari tempat duduk di anjungan, tapi lebih banyak yang lesehan di dek kapal.

 Kami berempat tak terduga mendapat penawaran dari awak kapal untuk menggunakan cabinnya dengan menambah ongkos ekstra.  Tawaran kami terima, dan nyamanlah  pengalaman pertama naik kapal menyeberang laut, tepatnya selat Sunda.  Sekitar jam sebelas malam kapal meninggalkan dermaga Merak, membelah laut dengan tenang.  Ombak sangat bersahabat sehingga kami sebagai pemula tak merasa pusing atau mual dan tertidur pulas. Entah berapa lama kapal berlayar, namun ketika kami terbangun sekitar jam tiga pagi, kapal terasa berhenti terapung-apung di tengah laut.  Baru jam lima pagi kapal mulai merapat di dermaga pelabuhan Panjang.

Perjalanan kereta berakhir di Kertapati sekitar pukul empat sore, dilanjutkan dengan oplet berhenti di terminal 16 ilir yang berada di bawah jembatan Ampera yang megah. Aku terheran-heran melihat sungai Musi yang sangat lebar, yang berlipat-lipat dibanding lebarnya sungai di Jawa.  Bengawan Solo yang melintas di kota kelahiranku Cepu  tidak ada apa-apanya, apalagi di musim kemarau airnya mengering.  Hari mulai senja mendekati waktu Magrib ketika becak yang kami tumpangi sampai di depan kantor telepon Palembang, jalan Kapten Rivai.

Bangunan kantor telepon dengan cat krem sudah tampak kusam. Tidak tampak kemegahan, hanya di halaman bagian kanan gedung tampak berdiri kokoh Menara Mikrowave satu-satunya tanda dimulainya modernisasi telekomunikasi.  Kantor sudah sepi, hanya petugas Satpam yang melayani. Hazeckil Hasugian anak Batak teman perjalanan  kami menjadi juru bicara, tentang maksud kedatangan kami berempat.  Tujuan utama  bertemu pejabat bagian Personalia Kantor Telepon Pelembang tidak mungkin terwujud, maka malam itu kami harus menginap. Uang yang tipis, dan tak tahu penginapan mana yang murah, maka kami sepakat menginap di beranda kantor telepon. Satpam pun membolehkan.

Malam itu selepas Isya, dewi fortuna benar-benar menghampiri kami yang duduk lesehan beralaskan koran bekas pemberian Satpam. Seorang bapak paruh baya melintas di beranda kantor, menghampiri kami, lalu bertanya;
“Adik-adik ini siapa dan ada kepentingan apa di sini?”
“Begini pak, kami berempat dari Bandung. Akan mengikuti job training operator radio morse di Palembang ini.” Zeck  panggilan akrab juru bicara kami mulai menjelaskan.
“Sesuai dengan surat panggilan dari Perumtel Pusat kami harus menghadap ke Personalia Kantor Telepon ini pak,” lanjut Zeck.
“Ya, ya,  paling besok pagi baru dapat menghadap. Malam ini sebaiknya  adik-adik nginap saja di mess di belakang kantor “ ujar Bapak itu.  Wajah kami langsung sumringah, mendengar tawaran yang tak pernah di sangka-sangka.
“Terimakasih pak, “ kami serempak menjawab tawaran itu.
“O, ya sampai lupa mengenalkan diri. Saya Hazeckiel Hasugian pak”  juru bicara kami mengenalkan diri sambil bersalaman.
Berturut-turut temanku Ruslan dan  Yaya Sunarya menyalami Bapak penolong itu. Saya memperkenalkan diri yang terakhir.
“ Yah, panggil saja saya pak Elias, pengurus rumah tangga kantor telepon ini.”
“Ayo bereskan barang-barang kalian, ikut bapak ke belakang.”

Tidak banyak barang yang kami bawa, Zeck membawa koper ecolac medium , Ruslan dan Sunarya  juga membawa koper besar, sementara aku hanya membawa tas rangsel terpal.  Kami segera mengikuti pak Elias menyusuri koridor yang membelah ruang-ruang kantor dan sentral telepon.  Di bagian belakang terdapat halaman parkir yang dimanfaatkan untuk lapangan badminton. Ruangan mess itu berada sisi kiri belakang gedung merupakan bangunan tambahan dari gedung induk. Di deretan itu juga terdapat gudang, dan kantin yang sudah tutup.

Ruang mess berisi empat tempat tidur nomor tiga, dengan sprei warna putih mangkak (kecoklat-coklatan), tapi di mata kami sudah cukup mewah.  Yang menyenangkan ada beberapa  kamar mandi dengan air yang berlimpah. Malam yang benar-benar nyaman setelah dua hari perjalanan yang melelahkan.

Hari-hari pelatihan operator radio morse, diawali dengan pengenalan kode morse, baik visual maupun suara.  Nada-nada pendek, tut satu hingga lima kali  harus benar-benar dihayati. Tampaknya remeh, tetapi membedakan ketukan tiga titik kode dari huruf “s” dan empat titik sebagai huruf “h” ternyata tidak gampang. Minggu-minggu pertama peserta masih banyak salah.  Sebagai operator telegraf dituntut memiliki ketrampilan mengetik buta sepuluh jari. Bagi kawan-kawan yang sudah terbiasa mengetik sebelas jari atau menggunakan dua telunjuk, mengalami kesulitan.  Aku beruntung, yang belum pernah menyentuh mesin ketik, malah lebih mudah beradabtasi dengan tomobol-tombol mesin ketik.

Selain ketrampilan kirim terima morse peserta harus menguasai administrasi telegrap, pengantar teknik telegrap, teknik radio, dan sedikit Bahasa Inggris. Untuk pengetahuan administrasi dan pengantar teknik telegrap dan radio tidak menjadi masalah. Tapi untuk skill mengirim dan menerima kode morse aku benar-benar payah. Ditambah lagi menjelang ujian terkena radang rongga telinga, semakin terupuruklah  nilai kirim terima telegrap radio morse.  Aku harus di her bersama empat teman lainnya, dan hasilnya tidak jauh beda . Untungnya tidak ada drop out , dan tetap diangkat jadi calon pegawai Perumtel yang bertugas sebagai operator telegrap radio morse.

Lulusan SMA Paspal diangkat menjadi pegawai berpangkat juru operasi alias golongan IC bukanlah sesuatu yang membanggakan. Terlebih lagi menyaksikan perilaku operator senior yang tampak depresi dan marah-marah yang dilampiaskan pada benda-benda di sekitarnya.  Adakalanya membanting pintu, dan di lain waktu menggebrak meja sambil membanting  headphone.   Dari tujuhbelas peserta pelatihan, hanya sembilan orang yang bertahan sebagai operator telegraf termasuk diriku.  Peserta kebanyakan pulang ke rumah masing-masing ada yang melanjutkan kuliah, atau mencari pekerjaan lain.

“Hei, jangan ngelamun terus, jangan mikir yang macam-macam.” Tiba-tiba Zeck kawan satu kontrakan  menegurku. Anak Batak ini setiap hari pergi menyambangi kawan-kawan nya sesama Batak. Beberapa kali aku diajaknya, namun aku tidak sabar dan sering jengkel, karena mereka asyik bicara Bahasa Batak, yang tidak satu kata pun aku mengerti kecuali horas.
“ Tenang Jon, kasus kita ini ringan,” Zeck menarik kursi kayu duduk di depanku.
“Ada saudaraku  orang hukum di sini, dia pasti bisa bantu,”  lanjut Zeck.  Ucapan itu sangat wajar, orang Batak banyak yang berprofesi di bidang hukum, entah di Kejaksaan, Kehakiman bahkan di kepolisian.
“Kita kawan-kawan senasib dari job training Palembang nggak tinggal diam,” ujar Zeck membesarkan hatiku.
“Terimakasih Zeck, “ jawabku singkat tak mampu mengurai kata.

Sejak pelatihan di Palembang Zeck dan aku bersama dua teman lain sama-sama satu kos-kosan. Dua teman ditempatkan di Lahat dan Jambi, aku dan Zeck ke Pangkalpinang. Sebelum kost, kami  berempat ditambah kawan baru dari pelatihan kabel telepon mencoba kontrak satu petak rumah. Kami anak muda yang belum berpengalaman, dari suku Jawa, Sunda, Batak dan Sumatera Selatan  tidak mampu mengendalikan emosi. Adu mulut bahkan menjurus ke perkelahian sering terjadi.  Rumah kontrakan untuk enam bulan kami tinggalkan, pindah kost di tempat lain.  Fragmen-fragmen ketegangan antara Zeck dan kawan baru ini sempat melibatkan polisi.

Di Pangkalpinang karena tidak mampu menerima radio morse, dia ditugaskan jadi operator  telepon interlokal.  Ternyata operator telepon interlokal itu nasibnya atau rejekinya jauh lebih baik dibanding operator telegraf. Yang datang di Kamar Bicara Umum itu biasanya bos-bos  yang memiliki hubungan bisnis dengan pengusaha Jakarta dan Palembang.  Bila percakapan dengan radio SSB itu berhasil bos-bos itu memberi tip kepada operator, atau tidak lagi meminta uang kembalian.  Sedangkan yang datang ke kantor telegraf para pesuruh dari Bank atau instansi-instansi dan warga masyarakat biasa. Mereka biasa membawa uang pas, dan kalau ada kembalian mereka tetap menunggu. Entah tipisnya iman atau fitrah manusiawi, dalam hati aku iri, dan merasa tidak adil.  Tapi untung Zeck orangnya terbuka, dan bisa mengerti, maka dia sering mentraktirku dan kawan-kawan operator lainnya. Zeck masuk ke kamarnya, aku pun segera menutup pintu dan segera ingin tidur untuk melupakan kegundahan.

Pagi itu aku tidak buru-buru berbenah diri, karena giliran kerja shift siang.  Zeck sudah berangkat giliran pagi. Biasanya sekitar jam delapan bi Minah pedagang sayur keliling datang ke rumah menawari sayur dan lauk pauk. Sebenarnya untuk orang bujangan lebih praktis  makan di warung, tidak usah masak dan cuci perabot.  Masalahnya di Pangkalpinang makanan matang harganya mahal tidak seperti di Jawa yang banyak pilihan.  Namun pagi itu tiba-tiba Suryadi caraka telegraf  datang.
“Ada apa Sur,” aku bertanya lebih dulu.
“Bapak harus ke kantor langsung ke ruang Kepala Kantor.”  Suryadi memberitahu.
“ Ya , terima kasih. Aku segera berangkat naik sepeda saja”
“Begitu saja pak, saya kembali ke kantor dulu.” Suryadi segera mengengkol motor Suzuki dinas Caraka dan segera menghilang di tikungan jalan.

Sesampainya di ruang Kepala Kantor di Stasiun Radio Penerima, di sana sudah hadir pak Marta Kasie Umum, ibu Syamsidar  bendahara, pak Tanto Ketua telegrap, Zeck  dan Atang juga operator interlokal. Aku duduk di kursi yang masih kosong.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh” pak Bastian memulai rapat.
“Pertama-tama, saya beritahu, kalau urusan pencurian di kantor telegraf ini sudah selesai. Artinya kita sudah mencabut perkara ini dari Kepolisian. Cuma untuk ganti rugi perlu kita pikirkan.  Coba siapa punya saran.”  Berbunga-bunga hatiku, terbebas dari kemelut ini.  Aku tetap diam tak layak memberi usulan karena sebagai tersangka.

Tiba-tiba kawanku Atang Suwarmat mengangkat tangannya : “Izinkan saya mengajukan usul pak.” Ujarnya.   “ Oh ya   teruskan,”  pak Bastian mempersilakan.  “Begini pak, kami kawan-kawan operator yang sama-sama satu pendidikan sepakat untuk menanggung kerugian ini,”  Aku terkesiap, kawan-kawan yang selama ini aku curigai, aku pendam rasa iri, ternyata memiliki kesetiakawanan yang tinggi.
“Wah, ini bagus. Coba ada yang lain lagi.” Pak Bastian tampak berbinar-binar.
Tiba-tiba suara lembut bu Syamsidar satu-satunya wanita di kantor Pangkalpinang mengumandang. “Pak menurut hemat saya, ganti rugi ini jangan hanya dibebankan kepada empat operator saja.  Biar lebih ringan kita tanggung bersama.”  Benar-benar solusi yang bijak, yang menggambarkan kekompakan pegawai.
“Oke usulan bu Syamsidar memang sangat tepat, karena kecurian ini akibat kelalaian kita bersama. Untuk urusan ini saya minta bu Syamsidar yang mengkoordinir.” Instruksi pak Bastian.

“Pak Bastian, saya punya usulan lain” pak Tanto angkat bicara
“Usulan apa, kalau penggantian ganti rugi ini sudah selesai.” Kata pak Bastian.
“Sekarang ini jumlah telegram yang dikirim dan diterima semakin banyak, sedangkan operator telegrap hanya dua.”
“Maksud pak Tanto apa petugas kantor telegraf kurang.” Tukas pak Bastian.
“Yah begitulah pak. Untuk itu saya usul agar saudara Zeck dan Atang bisa dikembalikan ke telegraf. Mereka memiliki basis pendidikan telegraf.” Usulan pak Tanto.
“Lalu yang jadi operator interlokal siapa?” tanya pak Bastian.
“Operator interlokal tidak sulit , karena tidak perlu pelatihan lama, saya kira bapak bisa minta tambahan pegawai ke Palembang.” Usualan pak Tanto tampak cerdas.
“Baiklah, kalau begitu, saya akan mengajukan usulan. Tapi sebelum pegawai baru datang, Zeck dan Atang tetap menjadi operator interlokal. Sekarang apa lagi yang perlu dibenahi? Mungkin pak Marta bisa kasih saran.”
“ Terimakasih pak. Berkaitan dengan pengamanan, kunci pintu kantor telegrap harus diganti dengan yang bagus dan kuat.   Dan itu pak , peti uang di loket sudah sangat tua, sudah berkarat, maklum peninggalan Belanda. Perlu beli brandkas kecil pak.”
“Ya, ya, untuk urusan perbaikan pintu, dan beli brandkas saya serahkan pak Marta. Saya kira kita telah tuntas menyelesaikan masalah.  Dan kau Jon harus lebih hati-hati, kerja yang rajin. Saya rasa sudah cukup dan Wassalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh. “ pak Bastian menutup rapat terbatas.
Aku langsung berdiri, menyalami pak Bastian dan berterimakasih. Akupun menyalami semua yang hadir dan memeluk Atang dan Zeck teman seangkatan. Airmata kebahagiaan menitik di sudut mataku.

Perkara itu sudah selesai, tetapi ada pertanyaan yang tersisa, kalau benar orang dalam siapa pelakunya. Semua baik-baik, tak  ada tanda-tanda bertipe jahat. Ada perasaan bersalah, karena rasa iri kepada teman, dan  karena  peristiwa ini, kawanku Zeck dan Atang yang selama ini berada di tempat basah, harus pindah ke telegraf yang dikenal gersang.  Perkara sudah tuntas, namun peringatan tertulis dari kepala kantor tetap kuterima.  Aku berserah diri kepada yang Maha Kuasa, dan teringat pepatah Jawa : “Becik Ketitik, Ala Ketara”.  Suatu kebaikan tanpa ucap akan tetap diingat, demikian juga setiap kejahatan walaupun ditutup-tutupi serapat mungkin akan terlihat tanda-tandanya. (***)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar