Minggu, 06 November 2016

Nasional

Seputar Hari Sumpah Pemuda

Konggres Pemuda ke II  26-28 Oktober 1928 itu benar-benar dirancang dan diselenggarakan oleh kaum muda. Soegondo Djojopoespito sebagai ketua konggres baru berusia 23 tahun, sekretaris yang dipercayakan kepada Muhammad Yamin lebih tua sedikit yakni 25 tahun.  Amir Syarifoedin Harahap sebagai bendahara mungkin yang termuda baru 21 tahun. Bung Karno yang berusia 27 tahun sudah termasuk tua dan sudah menjadi ketua Partai Nasional Indonesia, jadi tidak menjadi peserta Konggres Pemuda II.

Dalam rumusan Sumpah Pemuda yang menjadi masalah adalah soal Bahasa.  Kala itu yang dimaksud Bahasa Indonesia adalah Bahasa Melayu Riau yang penuturnya hanya berjumlah ratusan ribu orang. Peserta konggres terutama orang-orang Jawa belum fasih atau belum bisa berbahasa Indonesia, sehingga Bahasa pengantarnya kebanyakan pakai Bahasa Belanda. Pengamat Belanda juga menilai Soegondo Djojopoespito tidak berwibawa dalam memimpin rapat karena tertatih-tatih dalam berbicara Bahasa Indonesia.

Rumusan Sumpah Pemuda  hasil konggres pada butir ke tiga tidak menyatakan berbahasa yang  satu, Bahasa Indonesia, tetapi menjunjung Bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.  Soal Bahasa ini, Mohammad Roem  yang juga peserta konggres pernah mengatakan kepada orang Belanda, kalau Bahasa Indonesa dapat menjadi Bahasa nasional dan Bahasa resmi, karena adanya pengorbanan orang Jawa.  Orang Belanda sendiri salah satunya Pastoor Van Lith berpendapat kalau Bahasa Jawa akan menjadi Bahasa nasional di kemudian hari, karena Bahasa Jawa tingkatnya tinggi dan sudah kaya kosa kata. Tapi Bung Karno pribadi  tidak setuju Bahasa Jawa menjadi Bahasa nasional, karena adanya tingkatan Bahasa, antara ngoko(bicara sesama tingkatannya), kromo/kromo inggil (Bahasa pembicaraan dengan orang yang lebih tua atau orang yang dihormati).

Pejuang perintis kemerdekaan yang notabene lulusan pendidikan Belanda sudah menjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa akademik,  pergaulan dan Bahasa potilik.  Muhammad Roem dalam buku Bunga Rampai Sumpah terbitan Balai Pustaka tahun 1978 mengatakan masih bicara bahasa Belanda dengan istrinya dan anak-anaknya.  Berbahasa Jawa dengan ibu mertuanya yang wafat tahun 1976.
Berbeda dengan Muhammad Yamin yang memang sastrawan, orang Sumatera yang akrab dengan Bahasa Melayu, maka beliau yang paling lancar berbahasa Indonesia. Jadi tepatlah beliau menjadi perumus hasil Konggres Pemuda II, yang intinya menghasilkan Sumpah Pemuda:
Pertama  :   Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mengakoe bertoempah Darah yang satoe, Tanah Indonesia,
Kedoea    : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mengakoe berbangsa satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga       : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar