Minggu, 06 November 2016

Sains Religion

Kepribadian yang terbelah 

Oleh H Mudjiono

Split Personality atau kepribadian yang terbelah sadar atau tidak sadar telah melanda umat beragama di negara manapun termasuk Indonesia. Pendapat ini dikemukakan oleh filsuf, teolog Iran masa kini Seyyed Hossein Nasr, dalam bukunya Islam an the Plight of Modern Man, bahwa manusia modern cenderung mengalami split personality dan split integrity karena pengaruh modernisasi global, yang sudah menggeser peran agama menjadi persoalan pribadi dan akhirat tidak lagi memiliki hubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Permasalahan ini diakui Mulyadi Kertanegara dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  dalam bukunya Integrasi Sains dan Agama. Dikotomi sain dan agama menjadi problem dalam transformasi IAIN / STIAN menjadi Universitas Islam Nasional, karena  harus mengajarkan ilmu-ilmu umum yang mengikuti system barat.  Masalah ini sangat serius, karena dunia pendidikan Indonesia masih mengakui peran agama, dan masih diajarkan dari SD sampai SLA bahkan perguruan tinggi.

Selama ini anak-anak kita akan mengatakan asal-usul manusia  berasal dari Nabi Adam dan Hawa ketika belajar Agama, tetapi akan mengikuti teori Darwin dalam mata pelajaran biologi.  Agama mengajarkan Allah menciptakan alam semesta, tetapi di sisi sains alam semesta tercipta melalui hukum mekanika kuantum, gravitasi,  tanpa campur tangan Tuhan, seperti kata Stephen Hawking. Ilmuwan dan cendekiawan muslim sejauh ini masih menghadapi kesulitan dalam memasukkan peran Tuhan dalam sains. Seperti yang dikatakan Agus Purwanto fisikawan Indonesia dalam bukunya Ayat-Ayat Semesta kesulitan menemukan formula memasukkan peran Tuhan dalam teori Bigbang.

Secara tidak sadar masyarakat agamis sudah digiring menjadi masyarakat yang munafik, yang terombang-ambing antara agama dan sains. Bisa jadi ini mengakibatkan split integrity sehingga tidak memiliki keteguhan iman pada ajaran agama. Kepribadian yang mengambang tidak bisa lagi membedakan  mana yang haq dan mana yang batil, sehingga perilaku korupsi sulit diberantas.  Ditambah dengan gemerlapnya tipu daya iblis, maka masyarakat agamis didorong untuk mencintai dunia dan takut mati.

Sementara itu ulama-ulama yang berpegang pada  ayat-ayat suci dan hadits nabi, belum pula sepakat dalam  memposisikan Tuhan terhadap alam semesta ini. Sejauh ini pendekatan kepada Tuhan lebih banyak melalui hati, memperbanyak amalan-amalan tertentu,  dzikir dan wirid, dan berharap mendapat pencerahan. Pendekatan ini tidak salah, namun senyatanya hati manusia itu sebenarnya tidak stabil karena disana juga bersemayam nafsu.  Over confidence atas kebenaran apa yang dianut menjadi pemicu tindak kekerasan.  Walaupun Al Qur’an banyak memerintahkan agar manusia itu berfikir, menggunakan akal, namun anehnya akal ini sudah diklaim tidak mampu menjangkau keberadaan Allah.

Menyeimbangkan antara olah batin dan olah fikir menjadi tugas umat beragama, sehingga mampu mengintegrasikan sains dan agama, dan mengintegrasikan Sang Khalik dengan makhluk Nya. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar